"Kalau bukan anak bangsa ini yang membangun bangsanya, siapa lagi? Jangan saudara mengharapkan orang lain yang datang membangun bangsa kita."
~B.J. Habibie~
_________________________
"Ayo, Nay. Sepuluh menit lagi adzan." Aku bergegas mengambil mukena lalu menghampiri Alya yang sudah menunggu di depan kamar. "Ayo."
Aku dan Alya pun berjalan cepat melewati kamar-kamar yang sudah sepi. Kami memakai sandal setibanya di pintu keluar asrama. Hawa dingin menyambut kami, berjalan di halaman rumah pengasuh pondok yang dipenuhi dengan pepohonan rindang. Embusan angin membuat dedaunan yang sudah kecokelatan lepas dari rantingnya, halaman luas ini pun penuh dengan dedaunan dibuatnya.
Di bawah langit fajar, aku dan Alya terus berjalan menuju Masjid Salman Al-Farisi. Masjid itu tempat para santriwati sholat setiap harinya, beberapa bapak-bapak dari warga setempat pun ikut sholat di sana dan bergantian menjadi imam, sesekali ada ustadz yang mengimami. Lima shaf depan dibatasi tirai dengan shaf belakangnya, pemisah dengan para santriwati.
Masjid Salman Al-Farisi tak jauh dari asrama santriwati, setelah melewati halaman rumah pengasuh pondok yang tak berpagar, kami tinggal menyeberangi jalan dan langsung tiba di pelataran masjid. Aku dan Alya pun memarkir sandal dengan rapi, lalu bergegas masuk dan duduk di shaf belakang yang belum penuh terisi.
"Aduh, kan kita jadinya di shaf belakang," keluh Alya.
"Iya, padahal masih belum adzan," ucapku.
"Kamar mandinya mulai rame sejak santri lama datang, jadinya ngantri deh," keluhnya lagi.
"Sekar mana ya." Aku melihat sekeliling, santriwati ada yang sholat sunnah, membaca al-Qur'an, dan ada pula yang masih terkantuk-kantuk.
"Eh, iya. Tadi dia terlambat juga kan?"
Saat mengambil air wudhu tadi kami bersama Sekar, tapi Sekar tiba-tiba saja menghilang. Aku kira dia sudah duluan ke masjid.
"Hei!" Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku, aku menoleh. Sekar.
"Kamu dari mana?"
"Hehe, biasa ada panggilan alam." Sekar hanya menyengir.
Aku dan Sekar bangun terlambat ketika yang lain sudah bangun dan mandi. Ya, tidak terlalu terlambat. Tapi bangun pukul setengah empat itu bagi kami sudah terlambat, karena harus mengantri kamar mandi yang membuat lama. Ini juga akibat karena kami bergadang tadi malam.
Allahu Akbar... Allahu Akbar....
Azan pun berkumandang. Masjid pun senyap, hanya terdengar suara lantunan adzan.
♡♡♡
"Assalamu'alaikum, pagi ini sudah mulai halaqoh tahfidz1 ya. Saya akan membacakan pembagian kelompoknya. Semuanya perhatikan, saya tidak akan mengulang." Teh Dian. Oh, ya. Di Pesantren Al-Fath ini, ada ustadzah yang tinggal di dalam asrama. Mereka menjadi wali kamar dan masing-masing diberi amanah dibidang yang berbeda. Contohnya Teh Dian ini, khusus memegang bagian tahfidz. Semua santriwati memanggil para ustadzah yang masih single dengan panggilan teteh.
Satu persatu disebutkan nama-nama anggota kelompok beserta musyrifah2-nya. Satu kelompok terdiri dari sepuluh sampai dua belas orang. Kelompok ini berdasarkan kemampuan kita dalam menghafal al-Qur'an, jadi aku akan sekelompok dengan teman satu angkatan yang kemampuannya tak jauh denganku.
"Oke, langsung saja kalian ke tempat halaqoh tahfidz yang sudah saya sebutkan tadi. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Para santriwati pun menjawab salam lalu bergegas menuju tempat halaqoh tahfidz masing-masing.
"Eh Nay, kita sekelompok kan," ujar Alya.
"Iya." Kami menuju tempat halaqoh tahfidz kami.
"Kebanyakan sama teman sekamar kita juga, lho. Cuma Fitri yang nggak," ujar Alya lagi.
"Oh, ya?" Aku tidak mengingat semua nama yang disebutkan Teh Dian tadi. Ketika nama aku dan Alya disebut, aku sudah tidak memperhatikan yang lain.
"Iya, sama Regina, Linda, Gita, dan Nabila." Aku mengangguk, mengenal semua yang disebutkan Alya tadi.
Tak lama kami pun sampai. Tempat halaqoh tahfidz kami masih bisa dibilang termasuk beranda rumah pemimpin pondok, Ustadz Putra. Dulunya ini tempat sangkar burung, tapi sekarang sangkar burung dan burungnya dipindahkan, dan hanya tersisa beberapa sangkar kosong di sini.
“Hai, Nay, Al!” sapa Nabila. Tampaknya semua sudah berkumpul dan duduk membentuk lingkaran kecil.
“Teh Ratih mana ya?” tanya Siska.
“Sabar, sebentar lagi juga pasti datang,” kata Regina.
Apa yang dikatakan Regina benar. Bukankah memang seharusnya murid yang menunggu guru, jangan sampai guru yang menunggu. Keberkahan ilmu bisa didapat dari hal-hal kecil seperti ini juga.
“Assalamualaikum semuanya, sudah lama nunggu ya. Tadi Teteh ambil absensi di rumah Ummi Fatimah,” kata perempuan berwajah manis itu.
“Oke, sebelumnya kita perkenalan lagi ya. Kalian mungkin masih ingat nama Teteh? Waktu MOS sudah perkenalan.”
“Teh Ratih!” sahut Mifta.