"Jika dua orang punya satu pikiran, kekuatan mereka bisa memotong emas."
~Pepatah Cina~
_________________________
Bulan purnama menerangi langit malam yang gulita. Tak hanya cahaya bulan, bintang-bintang pun tampak berkelip-kelip. Semakin lama dilihat semakin banyak yang tampak, tak terhitung. Jarang sekali aku melihat langit malam seperti ini. Sambil mendongak ke atas, aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku tersenyum. Lega. Aku benar-benar merasa hati ini lapang, seakan ada beban berat yang mengimpit dadaku, lalu semuanya terangkat begitu saja. Hampir satu bulan aku berada di sini dan aku berhasil mengikhlaskannya. Benar kata Tante Tiara, tempat ini cocok untukku.
“Sekar, ayo! Kau tu lama sekali,” gerutu Mifta. Dia sampai jongkok di depan pintu asrama.
Sekar yang sedang duduk memakai kaos kaki merasa kesal, “sabar Met, namanya juga ‘pup' ya lama.” Met adalah panggilan untuk Mifta. Menurut sekar, panggilan 'Ta' atau 'Mif" aneh dan tak cocok dengan Mifta yang tomboi.
“Kamu makan apa sih, dari kemarin ‘pup' terus,” tanyaku heran.
“Aku juga nggak tahu, Nay.” Sekar telah selesai memakai kaos kaki dan sandal, kami pun mulai berjalan.
“Katanya kalau BAB di tempat baru, tandanya sudah betah,” kata Mifta.
“Ah, masa sih.”
“Iya, kau betah karena ada Mifta kan,” canda Mifta.
“Eh, pede nian kau tu,” kata Sekar tak terima, aku terkekeh. Sudah dekat dengan Mifta, Sekar jadi ke bawa logat Minangnya.
Kami sedang menuju kelas, jarak dari asrama sampai sekolah hanya sekitar setengah kilo. Masih termasuk wilayah pesantren, jadi kami bebas ke sekolah kapan saja. Malam ini belum mulai kajian malam, jadi kami seangkatan memutuskan untuk kumpul angkatan membahas beberapa hal penting.
Keadaan di sekolah sepi dan gelap. Hanya satu ruangan yang menyala terang di antara ruangan lainnya. Kami bertiga pun masuk ke dalam kelas X MIPA 2. Ramai. Bangku-bangku dipinggirkan agar lima puluh enam orang cukup untuk duduk melingkar di dalam kelas. Suasana di sini benar-benar jauh berbeda dengan di luar. Sangat bising. Aku, Sekar, dan Mifta pasrah duduk tak jauh dari pintu.
"Apakah canda jika sendirian akan menjadi janda?"
"Apaan sih La, receh banget." Walau receh tetap saja semua tertawa.
"Apakah benar, jika Lala kecebur balong akan menjadi lele?" Kali ini semua benar-benar terbahak-bahak.
Aku dan Sekar berpandangan, bagaimana bisa kami mulai rapat angkatan kalau semuanya bersuara begini.
Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Semua masih ramai sendiri, seperti pasar saja. Mifta dan Sekar sudah tak sabar, mereka pun bangkit dan berdiri di depan kelas.
Tuk... Tuk....
Mifta mengetuk meja dengan penggaris panjang. Sontak semua diam. Perhatian ditujukan ke Mifta dan Sekar.
"Oke, teman-teman. Daripada berisik begini, aku dan Mifta yang buka rapat angkatannya ya," kata Sekar.
Tidak ada tanda-tanda protes dari teman-teman, Mifta pun mulai membuka rapatnya, "mari kita buka acara ini dengan membaca basmallah bersama-sama."
"Bismillahirrahmanirrahim...."
"Nah, sebelum kita bahas untuk lomba Language Fair. Kita adakan pemilihan ketua angkatan dan lain-lainnya."
"Ada yang mau mengajukan diri atau kita voting aja?" tanya Sekar, meminta pendapat.
"Voting aja, Sekar."
"Iya, kalau mengajukan diri pasti nggak ada yang mau."
"Oke. Ada yang mau usul siapa?"
"Linda!"
"Almira!"
"Ika!"
"Lala!"