"Simpan rasa takut untuk diri sendiri dan bagi keberanian dengan orang lain."
~Robert Louis~
_________________________
Kami berhasil menyelesaikan kostum untuk Miss Language dalam satu hari. Gaun yang terbuat dari koran-koran serta sayapnya yang berhasil di bentuk dari kardus dengan kerangka kawat, kardusnya pun ditutupi bunga-bunga dari tisu sehingga terlihat semakin cantik. Semua yang aku bayangkan ternyata berhasil. Aku tersenyum puas melihat gaun dan sayapnya yang digantung di dalam kelas X IPS 2.
Sekarang masih pukul setengah tujuh pagi, tapi aku dan Almira sengaja datang untuk membereskan yang masih kurang. Sebenarnya semua sudah siap, hanya tinggal menunggu waktu nanti siang untuk persiapan kecil. Namun, Almira ingin membuat mahkota dari sisa-sisa bunga tisu.
"Udah jadi nih, Nay." Almira menunjukkan mahkota putih yang di tangannya itu padaku.
"Bagus banget Ra," ujarku kagum. Benar-benar indah, padahal hanya terbuat dari tisu.
"Almira..!" Tiba-tiba dari luar terdengar suara-suara gaduh. Aku dan Almira sontak keluar.
"Ada apa?" Di depan kelas teman-teman sudah ramai berkumpul. Raut wajah mereka terlihat panik. Sepertinya ada yang tidak beres.
"Laila tiba-tiba dijemput sama kakaknya, ada urusan mendadak katanya," jawab Siska panik.
"Sekarang udah pulang?" tanyaku. Siska mengangguk.
"Terus ini bagaimana buat lomba sing a song-nya?"
Kami semua benar-benar bingung. Lombanya nanti malam, dan tidak ada yang bisa menyanyi sebagus Laila. Dan lagi yang membuatnya tambah sulit adalah lomba sing a song ini tidak sembarang menyanyi. Peserta harus menyanyi lagu yang dari Indonesia lalu diubah ke dalam bahasa Inggris. Kami harus mendapatkan pengganti Laila segera, untuk menyiapkan lagunya akan membutuhkan waktu yang tak sebentar.
"Aduh, bagaimana ini...." Beberapa teman-teman sudah ada yang mengeluh.
"Kamu saja Mir yang gantiin," ujar Nabila.
"Nggak ah, aku nggak bisa bahasa Inggris."
"Terus siapa yang mau gantiin? Baiknya sih, yang belum ikut lomba," kata Mona. Udara serasa memanas, padahal ini masih pagi. Aku dan Almira berpandangan, kami pun tak menyangka akan mendadak begini.
"Almira aja, ya Ra? Siapa lagi yang mau," bujuk Lala.
"Aku nggak bisa nyanyi, La,"
"Lha, terus siapa lagi Ra. Kamu juga kan nggak ikut lomba apa-apa." Lala masih terus memaksa.
"Iya, terus kamu juga ketua angkatan. Sebagai ketua kamu harusnya siap dong dalam kondisi seperti ini." Semua ikut memanaskan keadaan.
"Maaf, teman-teman. Tapi...."
"Ketua itu kerjanya di depan, Ra. Tampil di depan, jangan cuma bisa semangatin kita doang." Aku merasa panas mendengar perkataan mereka. Aku tahu betul bagaimana perjuangan Almira membantu kami semua. Walaupun dia kerja di belakang, tapi semua yang dia lakukan benar-benar tak mudah.
"Hei! Ada apa ini?" Tiba-tiba Mifta muncul.
"Kalian jangan bisa ngomong aja. Kalian juga banyak yang tidak ikut lomba, lalu kalian pun tak ada yang mau kan?" kata Miftah geram.
Suasana semakin panas, wajah-wajah yang ada di sini terlihat memerah menahan emosi. Aku sebenarnya tak tahan dengan kondisi seperti ini, tapi aku tak berani berbicara. Salah bicara bisa habis aku.
"Sudah Mif, aku nggak apa-apa. Memang seharusnya aku," kata Almira berusaha memenangkan situasi. Dia menarik napas panjang, lalu berusaha tersenyum, "aku yang akan ikut lomba itu."
"Nah, gitu dong." Teman-teman pun tersenyum puas. Suasana pun perlahan kembali mencair. Mulai terdengar candaan, dan beberapa ada yang masuk kelas melihat kostum untuk Miss Language nanti siang.
Namun, ternyata masalah belum sepenuhnya selesai. Almira pergi begitu saja, aku pun mengikutinya. Aku khawatir dengan keadaannya. Dia masuk ke dalam kelas sebelah, kelas X MIPA 2. Dia langsung terduduk di lantai begitu masuk kelas.
"Ra...." Aku ikut duduk di sampingnya.
"Aku mau usaha Nay, tapi kalau mendadak begini aku benar-benar nggak bisa." Mata Almira mulai berkaca-kaca.
"Aku memang bukan ketua yang baik, ketua yang nggak bisa apa-apa," kata Almira lirih.
Aku menggeleng, "aku tau kamu udah usaha untuk bantu teman-teman." Aku mencoba untuk menghiburnya. Almira menggeleng, air matanya mulai menetes.
"Coba Ra, jawab aku. Siapa yang malam-malam bolak balik dari ruang makan ke asrama sambil bawa kamus-kamus berat. Sampai jatuh, dan aku tahu kaki kamu masih sakit kan? Habis keseleo malam itu."
"Terus yang lari-lari dari lapangan ke kelas untuk kasih tahu lombanya mau dimulai. Kumpulin teman-teman yang berpencar dan yang kasih semangat terus buat teman-teman. Dan lagi yang siapin perlengkapan untuk lomba. Itu semua kamu yang lakukan, Ra." Aku kesal. Bukan berarti tidak tahu, maka orang dengan seenaknya mengatakan yang tidak baik pada orang lain. Apalagi ini dengan teman sendiri.
"Terus bagaimana, Nay? Aku nggak mau buat teman-teman kecewa, mereka udah percaya Almira jadi ketua." Almira menghapus air matanya, dia masih berusaha menenangkan diri.
"Nah, kamu juga tahu kalau teman-teman udah percaya kamu itu pantas jadi ketua. Jadi nggak usah sedih lagi. Tadi itu, mungkin mereka lagi bingung dan panik." Aku tersenyum, menghibur dirinya. Almira mengangguk.
"Sekarang gini aja, aku yang akan ikut lomba itu." Almira menatapku tak percaya.
"Serius, Nay? Makasih..." Dia memelukku erat.
Aku tersenyum. Ya, semoga aku bisa.
♡♡♡
Di dalam kelas X IPS 2, kesibukan sangat terlihat. Sibuk mencari-cari jarum peniti, sibuk membetulkan kawat, sibuk merapikan koran-koran yang sudah ditempel. Ada pula yang sibuk berbicara, mengatakan waktu tinggal beberapa menit lagi, membuat situasi semakin ricuh.
Kami sedang memakaikan gaun yang kami buat dari koran itu ke tubuh Ika. Sebenarnya hanya memasang kain putihnya dengan menggunakan peniti ke gamis hitam yang dipakai Ika. Ika terlihat sangat cantik siang ini. Dia menggunakan pasmina hitam yang tentunya syar'i ditambah dengan kostum bersayapnya. Dia terlihat seperti bidadari. Berlebihan memang, tapi semua yang melihatnya pasti akan setuju dengan itu. Padahal dia tidak memakai make up sama sekali. Wajahnya yang putih cukup memakai bedak tipis agar tak terlihat pucat.
"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga." Kami menghela napas lega.
"Eh, ini mahkotanya lupa." Alya memasangkan mahkota putih itu ke kepala Ika dengan hati-hati.
Kami seketika terpesona melihat wajahnya. "Cantik sekali Ika, Masya Allah."
Tiba-tiba ada yang membuka pintu dengan keras. "Hei, ayo! Peserta udah disuruh kumpul!"
"Masya Allah Ika...." Lala yang baru tersadar melihat Ika.
"Udah, ayo cepat ke lapangan." Kami pun keluar kelas. Lapangan sudah ramai, semua santri sudah berkumpul.