"Ketika kau masih berleha-leha, waktu pun masih terus berputar. Saat kau tersadar, waktu sudah tak bisa kembali."
_________________________
Di bawah bulan yang hampir hilang purnamanya, di tengah-tengah udara malam yang berhembus, kami masih duduk-duduk di atas ember. Di tempat cuci yang berada di rooftop gedung asrama. Tempat ini selalu jadi tempat favorit para santri. Apalagi jika malam begini, dengan udara malam yang sejuk serta ditemani bintang-bintang yang bersinar, terutama jika sudah berkumpul ramai-ramai di sini. Waktu serasa tak berputar.
"Nay, mau nggak nih, maskeran." Siska menyodorkan masker jenis peel of mask. Aku menggeleng. Teman-teman memang sedang memakai masker berjama'ah. Aku tidak terlalu suka perawatan seperti itu, malas.
Aku memerhatikan sekitar. Kebanyakan memang anak-anak Karambia yang ada di sini, santri lain hanya satu dua yang masih di sini, dan itu pun untuk persiapan tidur. Lima anak ada yang serius mencuci baju, dua diantaranya Regina dan Linda. Tumpukan baju kotor di dalam ember yang cukup besar. Aku tak habis pikir, mereka kuat sekali mencuci sebanyak itu malam-malam. Di Al-Fath, santri bisa memilih ingin mencuci baju sendiri atau loundry yang tentunya dengan bayaran tambahan. Mama memilih loundry untukku, tak tega anak semata wayangnya mencuci baju dengan tangannya sendiri.
"La, yang bener dong olesinnya. Jangan sampai kena alis, nanti tambah tipis dah alisnya," kata Maya sewot.
"Iya ah, bawel."
Tapi yang namanya Lala, tentu saja ia tak akan turuti kata temannya. Dengan iseng, ia oleskan maskernya tepat ke alis Maya.
"Ahh! La, kan udah aku bilang jangan kena alis." Maya menjerit sembari memegang alisnya.
"Diam May, nanti maskernya rusak karena kamu ngomong terus." Maya pun terdiam. "Nggak apa-apa kali alisnya tipis juga. Biar tambah mirip sama Shinchan."
"Eh, La. Shinchan mah alisnya tebal kali," timpal Nabila.
"Ini kan Shinchan lokal, alisnya tipis," canda Lala dengan cengiran khasnya. Kami semua tertawa. Maya melotot. Ingin rasanya dia membalas perkataan Lala, tapi dia tahan agar maskernya tak rusak.
"Hei-hei, jangan berisik!" Kak Ifah, anggota OSFA bagian kedisiplinan menghampiri kami. Sontak kami terdiam.
"Segera ke kamar, ya. Sudah jam setengah sepuluh," katanya dengan intonasi yang sedikit menurun. Kami kompak mengangguk.
"Nay, beneran nggak mau pake?" tanya Alya, dia sedang membersihkan sisa maskernya yang sudah kering. Aku tetap menggeleng.
"Nay mah nggak usah perawatan juga udah cantik," celutuk Siska.
"Iya, nggak kayak kita yang sering perwatan tapi masih gini-gini aja," timpal Nabila.
"Udah cantik, pintar nyanyi lagi." Duh, mereka berlebihan sekali.
"Angkatan kita emang banyak yang cantik, apalagi Ika."
"Ah iya, nggak salah dia bisa menang Miss Language." Alya ikut menimpali.
"Jago-jago lagi bahasa Inggris sama Arabnya. Hampir semua lomba kita menang." Ya, kita bahkan mendapatkan gelar juara favorit.
"Hei, kalian belum tidur juga. Balik ke kamar gih, nanti telat bangunnya." Kak Ifah berkacak pinggang di hadapan kami.
"Hehe, masih nunggu maskernya kering, Kak." Lala menyengir, membuat Kak Ifah tak terlalu marah.
"Sini, Kak. Duduk aja bareng kita," ajak Maya.
"Kalian ngobrolin apa sih?" Kak Ifah pun duduk di atas ember samping Maya.
"Eh, Kak Ifah asalnya dari mana?" tanya Nabila, si ratu kepo.
"Jakarta," jawab Kak Ifah dengan wajah datarnya.
"Wah... kok bisa masuk pesantren? Keinginan sendiri?"
"Hehe, nggak juga sih. Aku itu anaknya bandel."
"Hah?!" Kami semua tak percaya, bagaimana seorang anggota Departemen Kedisiplinan yang identik dengan ketaatan ini dulunya nakal. "Masa sih, Kak?"
"Iya, beneran bandel. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak-kakak aku udah nikah semua. Aku itu anaknya nggak suka diatur, beda banget sama kedua kakakku." Kak Ifah mulai bercerita.
"Telat ke sekolah itu udah biasa, apalagi kalau soal bolos pelajaran, sering kabur-kaburan. Kalau kalian lihat absenanku dulu, isinya alpa semua." Tak bisa dibayangkan Kak Ifah seperti itu.
"Bisa masuk pesantren juga karena diancam sama Papa. Kalau aku nolak masuk pesantren, album K-pop punyaku akan dibuang. Sayang banget kan, jadi mau nggak mau aku masuk pesantren deh."
"Wah, Kak Ifah Kpopers juga?" tanya Nabila dengan tatapan tak percaya.
"Ssttt... jangan keras-keras. Takut ada Dewan Keamanan," bisik Kak Ifah, lalu terkekeh. Ternyata kalau sudah akrab begini, Kak Ifa ada sisi kocaknya juga. Mungkin karena dia salah satu anggota departemen yang mengharuskannya untuk bersikap tegas.
Dewan Keamanan lebih sadis dibanding Departemen Kedisiplinan. Jika Depertemen Kedisiplinan ada di bawah OSFA yang mengurus kedisiplinan santri sehari-hari, sementara Dewan Keamanan langsung dibawahi ustadzah, anggotanya adalah orang-orang terpilih dari kelas sebelas. Tugas mereka adalah menangani pelanggaran-pelanggaran berat yang dilakukan para santri.