Awal dan Akhir Kisah

Arunika Chayra
Chapter #10

Mukhoyyam (1)

"Berkah adalah nilai keridhoan Allah dalam setiap amal dan aktivitas kita."

_________________________

Hari minggu selalu dinantikan oleh seluruh santri. Setelah olahraga pagi dan bersih-bersih asrama, para santri menikmati waktu bebasnya dengan membeli jajan, berleha-leha di kamar, dan tak sedikit pula yang mencuci tumpukan pakaian kotornya yang belum sempat dicuci karena waktu yang padat.

Di pagi yang cerah ini, aku memutuskan mengikuti kajian rutin setiap hari minggu yang langsung diisi oleh pengasuh pondok, Ustadz Syam. Bersama Alya, Almira, dan Ika, aku menuju Masjid Salman Al-Farisi. Dengan berpakaian rapi dan sopan—gamis dan kerudung segi empat—aku semangat untuk mendapatkan ilmu, buku khusus untuk kajian pun sudah kusiapkan.

Masjid sudah ramai oleh warga sekitar, baik itu bapak-bapak maupun ibu-ibu. Kajian ini memang terbuka untuk umum. Para santri diperbolehkan bagi yang ingin saja, tapi kebanyakan santri memilih untuk mengistirahatkan badan dan pikiran di hari minggu setelah melewati enam hari yang melelahkan. Aku pun baru sekali ini ikut kajian selama dua bulan di sini. Almira yang mengajak setelah mendengar ceritaku kalau beberapa hari ini aku merasa futhur—rasa malas untuk melakukan kebaikan.

"Yah... kajiannya udah mulai. Kita telat nih," keluh Ika. Dia memang selalu tepat waktu, tidak suka dengan kata terlambat.

"Kamu sih Nay." Aku mendelik, tak terima disalahkan. Siapa yang mandi setengah jam, lalu berdiri lama sekali di depan lemari memilih baju. Alya—si biang kerok—menyengir.

"Di depan masih ada yang kosong, kita maju aja yuk!" ajak Almira.

Di barisan kedua masih ada tempat kosong, cukup untuk kami berempat. Ibu-ibu memilih untuk duduk di pinggir dekat tembok, supaya bisa bersandar. Seakan mempersilahkan santriwati untuk duduk di barisan depan. Kami berjalan sedikit membungkuk sopan melewati barisan ibu-ibu. Ternyata barisan depan didominasi oleh santriwati, terutama kelas dua belas.

Aku duduk tepat di samping hijab atau pembatas kayu setinggi satu setengah meter. Pembatas yang memisahkan lelaki dan perempuan. Dari sini, aku bisa melihat dengan jelas wajah Ustadz Syam. Tubuh kurus dan wajahnya yang pucat sangat terlihat beliau sedang sakit. Minggu lalu, beliau baru saja keluar dari rumah sakit. Kudengar beliau memiliki penyakit komplikasi, mungkin karena faktor umur dan ditambah dengan kegiatan-kegiatan beliau yang padat seumur hidupnya. Terutama beban tenaga dan pikiran yang ditanggungnya untuk umat.

"Dari Abu Ya'la Syaddad bin Aus ra. dari Nabi SAW., beliau bersabda: 'Orang yang cerdik yaitu orang yang selalu menjaga dirinya dan beramal untuk bekal nanti sesudah mati. Dan orang yang kerdil yaitu orang yang hanya menuruti hawa nafsunya tetapi ia mengharapkan berbagai harapan kepada Allah'. Hadits riwayat At Tirmidzi."

"Betapa kerdilnya diri kita, selalu meminta pada Allah, selalu mengeluh pada-Nya. Tapi masih sangat tipisnya iman kita, masih sering lalai diri ini pada kewajiban kita kepada Allah. Selalu memohon-mohon pada-Nya rezeki yang melimpah, kekuasaan yang hebat, kekuataan yang besar. Macam-macam kita minta pada Allah yang sifatnya hanya sementara. Begitu nyawa dicabut, hilang semua itu. Rugilah kita, tak ada bekal yang bisa dibawa." Kata-kata Ustadz Syam begitu tajam masuk ke hatiku. Membuatku tersadar betapa ruginya aku selama ini.

"Jika Allah sudah mencintai kita, maka semuanya akan diberikan-Nya. Rasulullah saw. pernah bersabda, bahwasanya Allah ta'ala berfirman : 'Barangsiapa yang memusuhi kekasihKu maka Aku menyatakan perang kepadanya. Sesuatu yang paling Kusukai dari apa dikerjakan oleh hambaKu untuk mendekatkan diri kepadaKu yaitu bila ia mengerjakan apa yang telah Kuwajibkan kepadanya. Seseorang itu akan selalu mendekatkan diri kepadaKu dengan mengerjakan kesunatan-kesunatan sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya maka Aku merupakan pendengaran yang ia pergunakan untuk mendengarkannya, Aku merupakan penglihatan yang ia pergunakan untuk melihatnya, Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerangnya dan Aku merupakan kaki yang ia pergunakan untuk berjalan. Seandainya ia memohon kepadaKu pasti Aku akan mengabulkannya dan seandainya ia berlindung diri kepadaKu pasti Aku akan melindunginya.' Masya Allah... hasbunallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'mannashir. Cukuplah Allah sebagai tempat diri bagi kami, sebaik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penolong kami.” Hatiku bergetar mendengar ini, berharap menjadi hamba-Nya yang dicintai.

"Pesan terakhir dari saya, carilah ridha Allah. Apabila hati gelisah, merasa jiwa ini tak tenang, tak tahu apa yang hendak dituju. Berjuanglah untuk agama Allah, maka Dia akan menunjukkan jalan. Seperti firman-Nya: 'Orang-orang yang berjuang untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami kepada mereka. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik'."

"Allah ta'ala berfirman: 'Sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan (kematian dengan penuh ketekunan)'. Bahkan Allah mengatakan kita sebagai untuk terus beramal sampai kematian datang menjemput.

Dari Ibnu 'Abbas ra. berkata, Rasulullah SAW. bersabda : 'Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu karenanya yaitu kesehatan dan kesempatan'. Betapa banyaknya kesempatan yang sudah kita sia-siakan. Baru tersadar saat kesehatan sudah diambil, kemampuan untuk bergerak berkurang. Tersadar bahwa kita tak pernah melakukan apa pun untuk mendapatkan ridho Nya. Rugi, sungguh sangat rugi." Suara beliau bergetar, matanya berkaca-kaca.

"Sebelum ditutup, saya ingin meminta maaf kepada semua yang ada di sini. Jika selama ini saya salah dalam berucap dan berbuat. Karena tidak ada tahu kapan datangnya kematian, tidak ada yang tahu kapan berakhirnya umur seseorang. Bisa jadi besok lusa atau bahkan hari ini ada nyawa yang dicabut." Aku tertegun melihat wajah Ustadz Syam, cahaya wajahnya seakan meredup saat mengatakan hal tadi.

Kajian pun ditutup dengan bacaan doa. Setelah selesai penutupan, semua jama'ah berdiri dan bersalam-salaman.

"Geulis, mugia janten budak sholehah, pinter, bageur, loba rejekina, kèngingkeun jodoh anu saè. Cantik, semoga jadi anak sholehah, pintar, banyak rezekinya, mendapatkan jodoh yang baik." Begitulah rata-rata yang diucapkan ibu-ibu yang kami salami. Hanya senyuman dan ucapan amin dari kami untuk ibu-ibu itu.

"Sholat dhuha dulu yuk!" ajak Almira. Masjid sudah kosong, tersisa kami yang berdiri di serambi masjid.

"Aku sama Alya lagi halangan," ujarku.

"Kalian sholat dulu aja, aku sama Nay ke warung." Setelah Almira dan Ika menitipkan pesanan, aku dan Alya pun keluar dari masjid. Warung Bi Edah terletak tak jauh dari samping masjid.

Lihat selengkapnya