"Berjalanlah di jalan-Nya, maka Dia akan memberimu jalan kemudahan."
_________________________
Suara kokok ayam bersahutan di bawah langit fajar. Udara yang dingin membuat orang-orang kembali berselimut di atas ranjangnya. Berbeda dengan suasana di aula asrama, hawa dingin tertutupi dengan rasa semangat yang berkobar. Tas ransel serta kantong-kantong besar berisi barang pribadi dan kelompok memenuhi aula. Suara-suara obrolan dari para santriwati yang memakai baju kaos serta kerudung berwarna gelap terdengar menyenangkan. Beberapa ada yang sambil makan dengan menggunakan satu piring beramai-ramai, duduk di antara jejeran barang-barang.
"Kalian mau nambah lagi nggak?" tanya Linda. Tangannya masih sibuk membersihkan sisa-sisa nasi di piring.
"Ya iyalah Lin, tadi lauk buat tiga orang. Masih dua porsi lagi," tukas Mifta.
"Giliran kamu yang ambil Al," ujarku. Alya memberikan tanda oke dengan jarinya.
Terdengar suara ketukan mic dari speaker masjid. Alya yang hendak bangkit kembali duduk. Jarang sekali terdengar pengumuman dari speaker Masjid Salman Al-Farisi, biasanya jika ada pengumuman untuk santri akan diumumkan lewat ruangan PIP—Pusat Informasi Pesantren.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un..." Mendadak aula hening.
"Telah berpulangnya ke rahmatullah ustadz kita semua, KH. Syahrir Syam..." Sontak suara terkejut dan tak percaya berdengung di aula.
Di tengah kebisingan dan kebingungan, Teh Ratih berdiri meminta perhatian, "Sekarang semuanya tenang ya. Di luar banyak tamu yang datang, jangan ada yang keluar sebelum ada pemberitahuan lagi."
Teh Ratih menghela napas, cepat-cepat menghapus air mata yang keluar. "Nanti ada waktu untuk santri sholat jenazah." Setelah memastikan semuanya paham, Teh Ratih pun berlalu. Tentu berita ini berat baginya yang telah bertahun-tahun mengenal Ustadz Syam.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un," lirih kami semua.
"Aku nggak nyangka Nay, padahal dua minggu yang lalu Ustadz Syam masih ngisi kajian," kata Alya pelan. Aku hanya mengangguk, tak bisa berkata apa-apa. Masih terbayang dengan jelas pesan-pesan terakhir beliau di benakku. Kajian dua minggu yang lalu memang kajian terakhir beliau. Beberapa hari setelah itu beliau kembali masuk rumah sakit, dan akhirnya meninggal dunia.
Setelah hampir satu jam kami menunggu, tiba giliran santri untuk sholat jenazah. Aku dan Alya pun segera menuju Masjid Salman Al-Farisi setelah berwudhu. Keluar dari pintu asrama, aku terkejut melihat puluhan karangan bunga berjejer. Ucapan duka cita dari pengusaha, kyai-kyai besar, sampai bupati dan gubernur pun ada. Ustadz Syam mempunyai kenalan yang sangat luas, beliau memang sosok yang menginspirasi semua kalangan.
Masjid pun masih ramai. Untungnya aku dan Alya sempat mendapat tempat, meski paling belakang. Entah ini sudah putaran yang ke berapa kali, masjid yang tidak begitu besar ini tidak akan cukup untuk menampung ribuan orang. Maka sholat jenazah dilaksanakan bergantian.
Takbir pertama dikumandangkan imam, surah pembuka dibacakan dengan sirr. Takbir kedua, membaca sholawat kepada Rasulullah. Takbir ketiga dan keempat, mendoakan mayit. Momen seperti ini selalu mengingatkan yang hidup pada kematian. Sesuatu yang pasti akan menimpa makhluk hidup, dan sayangnya tak ada seorang pun yang tahu kapan ia datang.
Selesai salam semua yang di dalam diminta untuk segera keluar, bergantian dengan yang lain. Aku dan Alya masih diam di tempat. Melihat jenazah yang terbungkus kain di dekat mihrab. Disela-sela orang ramai yang keluar dan masuk masjid kami menatap pilu, masih syok dengan kejadian ini. Aku memandang Alya, dia mengangguk. Kami pun keluar dari masjid.
Di teras rumah Ustadz Syam tampak keluarganya yang sedang berkumpul. Ada pemandangan memilukan di sana. Anak perempuan satu-satunya Ustadz Syam menangis meraung-raung, orang-orang di sekelilingnya berusaha menenangkan. Teh Fatimah atau akrab dipanggil Teh Timeh hampir menyelesaikan sarjana, sedang menyelesaikan tugas akhir. Tentu menyedihkan, di saat butuh kehadiran sosok seorang ayah untuk menyemangati dan tentunya ingin sang ayah tersenyum bangga melihatnya wisuda.
Kami sudah kembali ke aula. Semua santri tidak diperbolehkan untuk keluar, karena masih ramai tamu yang datang. Aura kesedihan terasa pekat menyelimuti seisi pesantren. Semangat yang berkobar beberapa saat lalu, sekarang padam begitu saja. Di luar terdengar suara hujan turun, seakan langit pun turut berduka.
"Kak Fira, kita jadi berangkat hari ini?" tanya Linda saat Kak Fira berjalan melewati kami.
"Katanya kita tetap berangkat pagi ini. Pesan dari almarhum sebelum meninggal, mukhoyyam ini harus tetap terlaksana."
♡♡♡
Santri Al-Fath yang sedang berjalan membentuk barisan yang super panjang. Sudah hampir satu jam kami berjalan, kanan kiri jalan mulai dipadati pepohonan. Sebenarnya kami sempat naik truk dari pesantren dan dibawa sampai beberapa kilo, kemudian diturunkan di pinggir jalan. Hanya tersisa barang-barang kelompok di dalam truk. Berjalan sambil menggendong tas ransel berisi peralatan pribadi di atas pundak masing-masing. Melewati jalan raya lalu masuk ke jalan yang lebih kecil, hingga akhirnya jalan beraspal berubah menjadi jalan setapak.
Aku selalu bersemangat untuk berjalan kaki seperti ini. Meskipun kebanyakan orang menganggap hal ini sangat melelahkan, tapi menurutku tidak begitu. Berjalan kaki sejauh ini sudah banyak hal yang kutemui. Mulai dari rumah-rumah besar masyarakat, lalu pedesaan dengan rumah yang sederhana tapi asri. Berjalan di jalanan ramai dengan kendaraan-kendaraan berasap, hingga sampai di jalan yang sama sekali tak ada kendaraan satu pun, daerah yang dipenuhi pepohonan dengan udara yang jauh lebih segar dibanding sebelumnya.
Kebisingan di jalanan pun sudah tak terdengar lagi. Kicauan burung dan suara-suara serangga kecil menemani perjalanan ini. Aku selalu suka memerhatikan pohon-pohon yang berjejer di sekeliling. Walaupun tidak tahu nama jenisnya dan tak bisa membedakan pula, menyenangkan saja melihat dedaunan hijau yang bisa berbeda-beda bentuknya. Batang-batang pohon yang kokoh pun menarik perhatianku, perlu waktu berapa lama hingga bisa tumbuh seperti itu.
"Wah bunganya cantik!" Shafa menoleh ke arah yang kutunjukkan. Bunga-bunga kecil berwarna putih dengan warna keunguan di tengah mahkotanya.
"Oh, itu namanya bunga kentut," ujar Shafa. Aku menatap tak percaya, bunga mungil itu mempunyai nama yang tak sesuai menurutku.
"Kalau daunnya diremas, baunya keluar. Kalau di sunda, disebut juga kahitutan." Aku tertawa kecil.
"Daunnya bisa dimakan juga lho. Bisa dijadiin obat sakit lambung." Aku mengangguk-angguk, kecil-kecil tapi bermanfaat juga.
"Nah, kamu tau ini tumbuhan apa?" Shafa menunjuk ke tanaman liar tak jauh di sebelahnya.
"Hmm... tanaman liar ini sering tumbuh dimana-mana kan?" Aku sering melihat tumbuhan yang memiliki tinggi sekitar 30–80 cm. Batangnya ditumbuhi bulu-bulu putih halus dan bercabang-cabang, memiliki satu atau beberapa kuntum bunga majemuk di bagian ujungnya.
"Biasanya disebut babadotan." Aku mengangguk, baru mengetahui nama tumbuhan yang sudah tak asing ini. Banyak tumbuhan yang sering dijumpai, tapi aku tidak tahu namanya.
Shafa meneruskan, "babadotan ini punya banyak manfaat. Obat sakit perut, sakit dada, dan kalau lecet atau luka terkena benda tajam, bisa pakai daunnya." Aku terkagum mendengar penjelasannya.
"Kamu tahu banyak ya soal tumbuhan." Kami mulai berjalan lagi, menyusul rombongan di depan.
"Ayah sering ngajak jalan-jalan dan menjelaskan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar. Di daerahku banyak lagi tanaman-tanaman yang unik," cerita Shafa.
Jalanan mulai menanjak. Berjalan di antara semak belukar ditambah dengan tanah yang tak rata, cukup sulit bagi orang sepertiku yang sudah terbiasa dengan jalanan kota yang mulus. Berbeda dengan Shafa yang lincah berjalan di tempat seperti ini. Bahkan di daerah yang terjal pun dia bisa melewatinya dengan mudah. Beberapa kali Shafa membantuku melewati berbatuan yang licin.
Matahari sudah meninggi, bersinar terik. Tapi tidak terasa sengatannya bagi kami yang berada di rimbunan pohon besar. Tak terasa sudah berjam-jam kami berjalan, sudah berkilo-kilo jauhnya kami dari pesantren.
"Oke, sekarang sudah masuk waktu dzuhur. Semuanya wudhu bergantian, ada sungai di bawah. Sambil menunggu kalian boleh istirahat." Terdengar suara dari toa yang dipegang Ustadz Ali.
Setelah menyimpan tas ransel bersama yang lain, aku mulai turun ke sungai. Jalan yang menurun ini sangat licin dan lumayan terjal, perlu kehati-hatian. Untungnya ada yang berinisiatif menyodorkan tongkat kayu untuk memudahkan orang yang akan turun dengan memegang kayu itu. Saat yang dibantu sudah turun, gilirannya yang membantu yang masih di atas, terus begitu. Seperti lomba estafet. Kata orang, di saat mendaki gunung atau berkemah akan terlihat sifat-sifat aslinya. Apakah orang itu setia atau tidak, apakah dia mementingkan sesama atau egois.
Air di sungai kecil ini tidak terlalu deras dan tak dalam. Aku melepas sepatu dan memasuki kedua kakiku ke dalam. Dingin. Obat lelah yang ampuh untuk kakiku yang sudah berjam-jam berjalan tanpa henti. Aku melangkahkan kaki di atas berbatuan kecil, menuju batu besar di tengah sungai. Mencari posisi yang pas untuk duduk di atasnya.
"Nay." Shafa duduk di sebelahku.
"Eh, Shaf. Santri ikhwan jalurnya beda ya?" Aku heran, hanya ada santri akhwat di sini.
"Iya, mereka lebih jauh lagi jalurnya. Muter jalan," jawab Shafa. Dia mulai berwudhu, aku pun mengikutinya.