Pikiran serta perasaanku berkecamuk. Bingung, tak menyangka, ragu, apakah aku bisa menjalankan amanah ini. Kak Rani dan kawan-kawannya sedang berbicara memberikan wejangan untuk kami para Dewan Ambalan baru, suara-suara mereka tak tertangkap oleh telingaku. Pikiranku melayang ke beberapa jam lalu. Ketika namaku disebut sebagai penerus Kak Gina sebagai seorang kerani. Aku sempat tercengang di tempat, benar-benar tak menyangka. Apa yang dilihat dari seorang Naraya yang nggak bisa jauh dengan orang tua, labil, lemah, apalagi dalam kepramukaan, tak ada skillnya sama sekali. Setelah itu tiba-tiba saja air mataku keluar, terus mengalir dan bertambah deras ketika Kak Gina memasangkan topinya sebagai simbol. Rasanya seperti ditimpuk satu gunung es.
Sungguh berat amanah ini. Meki tak seberat tanggung jawab menjadi Dewan Keamanan, tapi kami harus siap mendidik adik kelas saat di ekstrakurikuler maupun di kebiasaan-kebiasaan setiap harinya serta kami pun harus siap mental menghadapi teman seangkatan yang menjadi panitia ekstrakurikuler membantu kami dan tentunya banyak dari mereka yang menginginkan jabatan DA—Dewan Ambalan. Dan aku tidak siap menghadapi itu, rasanya ingin mundur saja. Tetapi melihat wajah orang-orang di depanku ini yang mengharap banyak kepadaku, Ika, Almira, Mifta, dan Gita untuk bisa memajukan ekstrakurikuler wajib ini sehingga bisa membanggakan Al-Fath,
Aku memperhatikan wajah-wajah di sampingku. Mereka pun tampak sembab dan pesimis. Banyak hal yang ada di dalam pikiran kami semua, bagaimana kami bisa melaksanakan tugas ini dengan baik.
"Sebenarnya mudah untuk mengajak teman-teman kalian kerja sama. Asalkan mereka selalu diberi kepercayaan dan para panitia itu ingin dianggap dan diandalkan."
"Kalian pasti bisa, kita semua percaya. Dan kita yakin nggak salah milih kalian untuk meneruskan perjuangan ini. Kita udah memperhatikan kelebihan-kelebihan kalian dibanding teman-teman yang lain dan mungkin kalian sendiri nggak sadar dengan kelebihan itu," ujar Kak Rani.
"Udah, jangan nangis lagi. Liatnya jadi ikut sedih," ucap Kak Gina.
"Iya, nanti Gina ikut nangis. Kalau dia nangis jadi jelek," gurau Kak Resti. Kak melotot. Kami jadi tertawa kecil melihat kelakuan mereka.
"Nah gitu dong senyum," sahut Kak Keysha.
"Udah malam, langsung balik ke kamar masing-masing ya. Tenang aja, semoga semuanya lancar. Kalau butuh bantuan atau ada yang nggak tahu, kalian bisa langsung nanya ke kita." Setelah penutupan kami pun bubar. Hatiku merasa sedikit lebih lega setelah kumpul dengan kakak-kakak tadi.
"Shaf, sudah ke kamar mandi?" tanyaku saat berpapasan dengan Shafa. Dia tidak menghiraukanku dan langsung masuk ke dalam kamar. Biasanya kami berdua memang selalu bersama-sama ke kamar mandi untuk bersih-bersih sebelum tidur. Aku tetap husnudzon, mungkin dia sudah mengantuk.
Aku pikir kejadian malam tadi tidak akan terus berlanjut, ternyata tidak. Hal yang paling kutakutkan terjadi. Orang-orang yang menginginkan jabatan ini mulai bereaksi. Besoknya, Shafa dan Sekar seharian tidak acuh padaku dan DA lainnya. Sejak awal aku sudah mengkhawatirkan hal ini. Aku tahu sekali mereka sangat ingin menjadi Dewan Ambalan dan skill mereka pun bagus. Jujur, aku pun bingung kenapa aku, bukan mereka.
Setiap aku menyapa dan mengajak bicara, mereka selalu menghindar. Aku tidak suka kondisi seperti ini, sangat tidak nyaman dan serba salah. Akhirnya setelah diskusi dengan Mifta, aku memutuskan untuk mendiami saja dan memberikan waktu untuk mereka. Semoga saja situasi seperti ini tidak akan lama. Kami—Dewan Ambalan—harus mempersiapkan beberapa hal untuk UKT Bantara bagi kelas sepuluh.
Pukul delapan malam ini kami berlima langsung berkumpul untuk rapat di dalam ruangan DA. Ruangan ini tidak besar, mungkin karena banyak barang yang disimpan di sini. Mulai dari puluhan tongkat, box-box besar maupun kecil berisi berkas-berkas, sampai rak yang cukup besar tempat menyimpan buku-buku catatan penting dari angkatan pertama. Satu benda lagi yang menarik perhatianku, bendera besar dengan gambar tunas kelapa di tengahnya di pajang di dinding ruangan. Ada sebersit rasa bangga bisa masuk ke dalam ruangan ini yang tidak sembarang orang bisa masuk. Kami pun duduk melingkar di tengah-tengah ruangan.
"Mari buka rapat perdana kita dengan bacaan basmallah." Buka Ika.
"Bismillahirrahmanirrahim…"
"Eh, sebenarnya ini rapat kedua. Yang pertama sama kakak-kakak kemarin," seloroh Almira.
"Iih… apaan sih Ra," canda Mifta. Dia senang sekali menggoda Almira.
"Beneran kok Mif, kemarin kan kita bahas tugas-tugas dan proker—program kerja—masing-masing."
"Iya juga. Nay catat tanggal dan apa aja yang kita bahas di rapat kali ini dan kemarin ya," kata Ika. Aku mengangguk, lalu mulai mencatat di buku tebal berwarna kuning yang sedari tadi kupegang terus.
"Aku udah list barang-barang yang dibutuhkan dan perkiraan harganya untuk nanti kita ajukan ke Ustadz Arif." Ika menyerahkan kertas catatannya.
"Oh ya. Gita belum datang?"
"Tadi masih izin pinjam laptop OSFA," jawab Almira.
"Ah, coba aja kita punya fasilitas sendiri," ujar Mifta.
"Bersyukur aja sama yang ada," kata Ika.
"Ya, berdoa aja siapa tau…"
"Assalamu'alaikum!" Panjang umur, Gita datang dengan membawa tas hitam.
"Wa'alaikumussalam."
"Liat… aku berhasil dapat izin…." Dia berkata dengan napas terengah-engah. "Cape… bolak balik. Dari Kak Ulfa katanya ke Kak Fira, terus dioper lagi ke Kak Hani. Terus.…" Mifta membekap mulut Gita.
"Kalau cape, nggak usah banyak omong. Tambah cape, apalagi kita yang dengernya." Gita cemberut. Aku dan Almira tertawa melihat tampangnya.
"Udah, jangan bercanda terus. Nay, langsung diketik aja. Pembukaannya bisa lihat contoh dari Kak Rani." Ika memberikan flashdisk merah.
"Sekarang kita bikin susunan acara dan panitia," kata Ika serius.
"Ika, bisa nggak jangan serius banget?" saran Mifta.
"Nggak. Kita harus cepat selesaikan malam ini juga."
Mifta mengembuskan napas. "Oke."
Aku mulai merasa hawa-hawa panas dingin di ruangan ini. Watak Mifta dan Ika yang sama-sama keras tapi beda dalam hal karakter. Mifta yang santai dan suka bergurau sedangkan Ika yang terlampau serius dan selalu sempurna. Aku sempat khawatir mereka akan susah untuk disatukan. Tetapi sepertinya kecemasanku berlebihan, sejauh ini diskusi masih lancar-lancar saja.