"Potongan-potongan floem wortel dikultur untuk menjadi banyak tanaman baru. Prinsip dasar kultur jaringan tersebut adalah.…" Nabila membaca soal nomor 16.
"Apa jawabannya, Bil?" tanya Bu Sari.
"Hmm... yang pilihan C."
"Kenapa?"
"Hmm… belum tahu, Bu." Nabila menyengir.
"Konsep kenapa tumbuhan itu bisa punya kultur jaringan, karena dia punya totipotensi, sifat potensi total. Sel dewasa yang sudah terdiferensiasi tetap bisa berdiferensiasi lagi menjadi jaringan lain. Yang bisa begitu hanya stem cell untuk hewan. Sedangkan tumbuhan hampir semua sel atau jaringannya punya sifat seperti stem cell," jelas Bu Sari.
"Bagian dari wortel yang diambil hanya floemnya saja yang kemudian dimasukkan ke dalam nutrisi yang cocok. Dan hasilnya akan membentuk tanaman-tanaman yang lain." Bu Sari menjelaskan dengan menggambar di papan tulis. Bu Sari masih mengajar kami hingga kelas dua belas sekarang.
"Contohnya Ibu punya daun, terus dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam wadah yang berisi nutrien dan hormon tumbuh. Kalau nggak ada hormon nggak bakal bisa tumbuh. Nantinya potongan itu akan jadi individu baru."
"Paham, Bil?"
"Paham, Bu. Tapi invitro dan aseptis itu apa, Bu?"
"Invitro itu simpelnya tertutup, seperti wadah nutrien ini tertutup ya. Aseptis itu artinya tanpa kontaminasi dari bakteri dan jamur." Kami mengangguk paham.
"Sebenarnya dari pilihannya sudah terlihat mana jawabannya. Pilihan lain ada kata gen dan mencangkok, sedangkan untuk melakukan kultur jaringan tidak memerlukan dua hal itu," terang Bu Sari.
"Baik, sudah masuk waktu asar. Silakan beristirahat, tidur yang cukup, jangan lupa untuk terus berdoa meminta ilmu yang bermanfaat dan kemudahan. Oh ya, jaga makan juga, jangan sampai ada yang sakit. Beberapa hari lagi ada simulasi, dan akan disusul dengan ujian-ujian lainnya. Kalian harus tetap fit ya," pesan Bu Sari panjang lebar.
"Iya, Bu."
"Terima kasih, Bu."
Bu Sari mengangguk dan tersenyum. "Assalamu'alaikum." Beliau pun keluar dari kelas.
"Wa'alaikumussalam."
"Ah, cape banget Nay…." Alya menggeliat. Aku tersenyum kecil.
"Ayo, Nay ke masjid." Aku mengikuti Alya keluar dari kelas.
"Kamu kenapa Nay? Diam terus dari tadi," tanya Alya.
"Nggak tau, Al. Kecapekan mungkin." Aku pun tidak tahu kenapa dari tadi pagi tidak semangat.
"Kita harus semangat terus, Nay. Ayo semangat! Semangat!" Alya berseru-seru sembari merangkulku. Aku sedikit terhibur dengan tingkahnya.
Kami sampai di depan masjid. Belum masuk pun, sudah terasa sejuknya. Rasa lelah karena seharian belajar untuk menghadapi UN menguap begitu saja.
Berada di dalam Masjid Salman Al Farisi ini, aku jadi rindu dengan Almira. Dia selalu mengajakku untuk pergi ke masjid di awal waktu dan berdiskusi tentang banyak hal sembari menunggu adzan. Ah, kenapa aku jadi memikirkannya.
Sejak libur semester kemarin Almira belum kembali masuk ke pesantren. Akhir-akhir ini penyakitnya jadi sering kambuh. Pernah izin pulang satu bulan saat dia benar-benar tidak bisa bangun. Dalam keadaan seperti itu pun Almira masih menyembunyikan sakitnya. Dengan alasan tak mau merepotkan orang lain dan tidak mau dikasihani, tetap saja aku tak habis pikir. Aku sudah sangat rindu ingin bertemu dengannya. Terakhir kali kami mendapat kabarnya, Almira meminta doa kepada kami semua—angkatan Karambia—agar cepat sembuh dan bisa kembali bertemu teman-teman.