Aku menutup al-Qur'an yang sudah selesai kubaca. Setahun aku belajar di sini, banyak perubahan baik yang kurasakan. Jika dulu aku selalu malas untuk membaca kitab suci ini, sekarang aku akan merasa ada yang kurang jika sehari saja tidak membacanya. Tiba-tiba aku teringat dengan surat dari Sekar—sepupuku—yang kusimpan di dalam al-Qur'an berwarna biru langit ini. Entah sudah berapa kali aku membaca surat itu. Setiap kali membacanya, aku seperti mendapat semangat baru. Sekar memang orang yang sangat spesial. Dia selalu membuat orang-orang di sekitarnya mendapat semangat yang luar biasa. Aura positif selalu terpancar darinya, mulai dari wajahnya yang selalu tersenyum sampai tulisannya di surat ini. Aku ingin sepertinya yang bisa menularkan cahaya kebaikan kepada orang-orang di sekelilingku.
"Nay…" Aku menoleh, Siska duduk di sampingku.
"Ada apa Sis?" Aku menyimpan al-Qur'an kesayanganku di rak masjid yang tepat berada di belakangku.
"Aku mau cerita, Nay." Dari wajahnya terlihat ada banyak hal yang dipikirkannya.
"Tapi kamu jangan cerita ke siapa-siapa ya." Aku mengangguk.
"Liburan kemarin, aku chattingan sama Naufal," jujur Siska. Aku terbelalak. Berhubungan dengan lawan jenis melalui media apa pun itu termasuk pelanggaran di pesantren.
"Siska…"
"Iya aku tahu Nay, itu salah. Awalnya cuma minta follback terus ternyata dia jawab dan akhirnya keterusan," ujar Siska. Aku benar-benar bingung ingin merespon apa. Yang dilakukan Mira jelas salah, apalagi kami adalah anggota Dewan Keamanan. Tapi mau bagaimana lagi, cinta itu buta.
"Tapi Nay, kamu tau nggak?" Siska menatapku lamat-lamat.
"Tau apa?"
"Naufal suka kamu." Tatapannya seakan ingin mencari kebenaran tentang perasaanku yang sebenarnya.
"Nggak mungkin, Siska." Aku menyangkal lalu tersenyum.
"Naufal memang nggak jujur sama aku, tapi aku tahu dari saudaraku yang dekat dengan dia. Di kalangan teman-temannya juga dia suka dicomblangin sama kamu Nay. Tapi setiap aku tanya tentang kamu ke Naufal, dia suka menghindar."
"Paling teman-temannya bercanda doang, dia memang nggak suka sama aku."
"Tapi Nay, kamu ada rasa sama dia?"
Aku tak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu. Cepat-cepat aku menggeleng. "Nggak."
"Aku ikhlas kok Nay kalau kamu suka sama dia. Aku akan mundur,"
"Apaan sih Sis, jangan ngawur deh. Beneran kok, aku biasa aja sama dia." Aku tersenyum untuk meyakinkan Siska. Siska masih menatapku dengan tatapan itu. Aku jadi tak nyaman dengan situasi ini.
"Aku duluan ya, tadi disuruh ke ruang Dewan Keamanan sama Kak Ulfa siang ini," kataku. Siska hanya mengangguk.
Aku pun keluar dari masjid. Melihat keadaan sekitar yang sepi. Siang hari yang terik seperti ini pasti para santri lebih memilih diam di dalam kamar ataupun keluar hanya untuk beli jajan. Di jalan, aku berpapasan dengan Nabila dan Lala.
"Cie… Nona Ar-Rayyan kedua!" seru Lala.
"Eh, yang pertama, La," timpal Nabila.
"Apaan sih kalian. Itu cuma gosip, nggak bener," elakku. Aku bingung dari mana mereka tahu, padahal Siska sendiri yang bilang jangan sampai tersebar.
"Alaah… beneran kok, Nay."
Aku hanya geleng-geleng kepala. "Aku duluan ya."
Aku menghela napas dalam-dalam. Sebelum semua ini tambah rumit dan akhirnya semua akan tersakiti, aku harus mengalah untuk pergi dan melupakannya. Aku tak mau kejadian di masa lalu terulang kembali.
Namun semakin aku ingin melupakan, cerita Siska dan raut wajahnya saat itu selalu terngiang di pikiranku. Dan bayang-bayang kenangan menyakitkan itu kembali hadir. Susah payah aku mengusir itu semua. Kesibukan yang kujalani di sini perlahan telah berhasil membuatku melupakan kejadian masa lalu itu. Aku benar-benar kesal sekarang, kesal pada diriku sendiri yang masih belum ikhlas dan tidak kabur begitu saja. Aku harus segera bertindak sebelum hal yang sama terulang kembali kepada orang yang berbeda, kepada orang yang kusayangi.
Sampai malam pun aku masih memikirkannya. Duduk di atas tembok dengan tinggi tak lebih dari setengah meter yang melingkari pohon duku. Teh Timeh—musyrifahku sekarang—memperbolehkan kami untuk menyiapkan hafalan dimana saja, asalkan kami harus setoran hari ini. Aku sedang menunggu giliranku dengan memikirkan banyak hal. Rasa-rasanya pikiran ini penuh dengan
"Nay!" panggil Alya yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku.
"Jangan melamun!" serunya.
"Nggak kok," kilahku.
"Ah… aku tau kamu lagi mikir apa. Lagi mikirin Naufal, kan?" tebak Alya, lalu tertawa.
"Nggak, kok."