“Beberapa orang tidak kita temui di dunia nyata. Tapi mereka hadir... dan anehnya, terasa lebih dekat daripada siapa pun yang pernah duduk di sebelah kita.”
Suara itu...
tidak berat. Tapi dalam.
Tidak terlalu jelas, tapi cukup membuat aku berhenti memikirkan dunia luar.
"Aku Nayel Arsvian." katanya.
Seketika aku merasa lucu.
Pria asing, tengah malam, dengan suara seperti dingin angin hujan bulan Mei... memperkenalkan diri seolah-olah kami sedang bertemu di kafe pinggir jalan.
“Auraya Elintha.” sahutku pelan.
“Nama kamu... kayak lukisan.”
Aku tersenyum kecil. “Nama kamu kayak gombalan.”
Dia terkekeh.“Loh, gombalan juga bisa jadi seni, tahu gak?”
Aku tertawa. Pertama kalinya malam itu. Bukan karena lucu—tapi karena rasanya seperti... dilepas dari sesuatu yang selama ini mengikat. Sejenak, semuanya terasa ringan. Tapi juga ganjil.
Setelah telpon itu ditutup, aku tidak langsung tidur.
Kepalaku masih penuh. Bukan oleh suara Nayel, tapi oleh perasaan tak dikenal yang menempel begitu cepat di dadaku. Seolah aku baru membuka pintu untuk seseorang—dan belum sempat menyesal.