Besok adalah hari terakhir UTS dilaksanakan, pulang sekolah Raka dan kedua sahabatnya memutuskan untuk melihat papan informasi. Siapa tahu nilai Ujian Kimia sudah keluar. Nilai sempurna untuk Raka dan Fadhli. Adit harus puas dengan nilai 90 yang didapatnya. Raka penasaran dengan nilai siswa-siswi dari kelas lain, matanya tertuju pada satu nama, siapa perempuan ini, dia murid satu-satunya yang mendapat nilai sempurna di mata pelajaran Matematika, namanya begitu asing di telinganya.
“Dit, lihat ini!” pinta Raka, menunjuk nama yang tertera di papan informasi.
“Hanum maksudmu?” Raka hanya mengangguk, “Itu murid pindahan, awal semester dia baru pindah kesini,” sambung Adit.
“Pantas saja namanya begitu asing di telingaku.” ucap Raka.
“Ka sejak kapan kau perduli orang disekitarmu? Duniamu itu hanya buku tebal yang kau pinjam dari perpustakaan Ka.” ejek Adit.
Raka hanya tersenyum, tidak bisa membantah ejekan sahabatnya itu, begitulah fakta-nya. Setelah Ayahnya meninggal, dia tidak terlalu peduli dengan sekelilingnya, baginya kebahagiaan Bunda di atas segalanya. Sedikit aneh memang, Raka bisa akrab dengan Adit dan Fadhli. Padahal sifatnya saling bertolak belakang, tetapi persahabatan mereka begitu hidup.
Adit walaupun sedikit urakan, bandel, dan suka berbuat onar di sekolah. Tetapi tidak bisa dimungkiri dia juga anak yang cerdas dan setia kawan.
Fadhli dengan tingkahnya yang konyol, selalu mengundang tawa bagi kedua sahabatnya itu, kadang dia dijadikan badut pertunjukan, untuk menghibur kedua temannya. Seperti tingkah konyolnya malam ini, disaat kedua temannya sedang fokus belajar, dia tiba-tiba berdiri dan menari-nari mengelilingi kedua sahabatnya itu.
“Plak,” Adit memukul kaki Fadhli. Fadhli terjatuh, diam sejenak, wajahnya berbalik menatap Adit.
“Cukuuup mas!” kelakarnya.
Tawa mulai memecah kesunyian malam itu, mereka bertiga tertawa terbahak-bahak, ditambah dengan ekspresi wajah ala artis-artis sinetron, membuat Fadhli semakin terlihat konyol.
“Ka, Dit, kalian tahu Hanum kan?” tanya Fadhli. Raka dan Adit hanya mengangguk.
“Aku kenal Hanum udah dari SMP.”
“Jangan bilang pas SMP kalian pacaran,” ucap Adit.
“Enggak!” jawab Fadhli singkat.
“Terus kenapa tiba-tiba ngomongin dia?” tanya Adit.
“Yah… emang gak boleh?” Fadhli balik bertanya.