Sudah 30 menit. Adit, Fadhli dan Raka menunggu, tapi Casandra tak kunjung menampakan wujudnya. Es di minuman mereka sudah mulai mencair, rasa manis mulai berubah hambar. Adit terus memperhatikan jam di tangannya, udah gak aneh lagi kalau si wanita huru-hara itu terlambat seperti ini batinnya.
Adit sudah sangat mengenal Casandra, jadi tak heran kalau dia terlambat, hanya saja dia tidak enak dengan Raka. Sahabatnya ini tidak terbiasa lama-lama di keramaian, saat ini pun Raka sudah terlihat mulai menunjukan tanda-tanda dia sedang tak nyaman. Sekarang Adit sudah tau mengapa Raka tidak suka berada di keramaian, dia sudah terbiasa sendiri, menghadapi kerasnya cobaan hidup.
“Ka mau pulang aja,” ucap Adit.
“Gak usah Dit, kita tunggu sampai temenmu dateng.”
“Ok.”
Adit hanya mengangguk pelan, terlihat Raka sedang berusaha membiasakan diri, sedangkan Fadhli, dari tadi sedang asik bermain game. Terkadang Adit berpikir, dia punya banyak sekali teman, tapi saat bersama Raka dan Fadhli rasanya kenapa begitu berbeda? Ada rasa hangat dan penuh kekeluargaan, seperti mengisi bagian-bagian yang kurang dalam hatinya, padahal mereka belum kenal terlalu lama.
“Aduh sorry banget, gue telat,” suara Casandra menyadarkan Adit dari lamunannya.
“Ehh… ada Raka juga,” ucap Casandra mendekatkan kursinya dengan Raka.
Raka hanya tersenyum kecil, dia lupa dengan kelakuan Casandra yang selalu menggodanya saat bertemu, kini wanita itu sedang menatapnya dalam-dalam sambil tersenyum.
“Kenapa San?” tanya Raka dia menggeser kursinya sedikit menjauh.
Wanita itu hanya menggelengkan kepalanya, tatapan dan senyumannya membuat Raka ngeri.
“San si Siti mana?” tanya Adit.
“San.”
“San.”
“Casandra!!!” teriak Adit.
“Apaan sih lo, ganggu aja deh!!” cetus Casandra kesal dengan muka cemberut.
“Siti mana?” tanya Adit dengan intonasi tinggi.
“Masih di jalan, tungguin aja! Lo ganggu banget, gue lagi menikmati indahnya ciptaan Tuhan di hadapan gue,” Casandra mengalihkan pandangannya lagi ke arah Raka, kembali menatapnya sambil tersenyum.