"Papa!" Teriak Nicko di ruang tengah. Nicko melihat ayahnya pergi membawa beberapa pakaian yang telah terbungkus rapi didalam sebuah tas berwarna biru tua lumayan besar. Nicko mengejar ayahnya yang terlihat terburu-buru mendekati pintu utama rumahnya. Setelah mendekat Nicko berhasil menggapai lengan sang ayah.
"Nicko! Dengarkan Papa! Papa tidak bisa terus berada disini sekarang, Papa harus pergi!" Bentak ayahnya pada Nicko yang enggan melepaskan lengannya.
"Oke, tapi Papa harus kasih Nicko penjelasan! Kenapa? Kenapa Papa pergi? Berapa lama? Nicko disini cuma sendiri Pa, kalau Papa pergi." Keluh Nicko. Tanpa sadar air mata telah menitik pada pipinya.
"Lepaskan dulu lengan Papa, baru Papa bisa jelaskan,"
Nicko melepaskan genggamannya yang begitu erat, berharap ia tak ditinggalkan begitu lama oleh ayahnya. Ayahnya menyeka air mata yang menitik di pipi Nicko, lalu tanpa penjelasan apapun ayahnya pergi begitu saja.
Mata Nicko membulat sempurna, melihat ayahnya yang lari terbirit-birit agar tak bisa dikejar olehnya. Dalam hatinya berkecamuk, perasaan kesal dan sedih bersatu padu menyempurnakan kesakitan yang dirasanya. Tubuhnya yang selama ini selalu tegak berdiri penuh kekuatan kini berubah seketika lemah lunglai seakan tak punya tulang. Ia ambruk di teras depan rumahnya.
Kini ia benar-benar sendiri, kepada siapa lagi dia akan menceritakan segala keluh kesah yang dirasanya. Tak pernah ia menginginkan situasi ini. Rumah ini rasanya bukan lagi rumah, ibunya telah meninggalkannya 2 bulan lalu dan tak akan pernah ia temui lagi selamanya. Dan kini ayahnya pergi begitu saja tanpa sepatah kata.
"Arrghhhhhhh" teriak Nicko.
----------------
Nicko menggelengkan kepalanya dan menyeka setitik air matanya diujung mata. Rasanya ia sudah tak bisa lagi menangis seperti waktu-waktu sebelumnya.
Di atas jembatan layang itu Nicko sudah cukup lama berdiri. Yang dipikirannya adalah bagaimana ia bisa hidup sekarang, sedangkan arah pun ia tak punya. Kini hanya tas ransel kumal berwarna hijau army yang selalu berada bersamanya, menggantung di pundaknya.
Ia berjalan lagi menyusuri kota seperti biasanya. Melihat pemandangan hiruk pikuk kehidupan manusia, matanya menelusuri sekeliling jalanan. Disudut kiri matanya menangkap seorang pedagang harumanis yang tengah memutar mesin gulanya, dan tak lama terlihat kapas berwarna merah muda yang semakin lama semakin membesar, anak kecil dihadapannya tampak girang melihat aksi pedagang itu. Lalu seorang wanita berusia sekitar 30 an disebelah anak itu memberikan beberapa lembar uang. Anak kecil itu melompat kegirangan sembari memegang kapas merah muda yang telah dibungkusi plastik bergambar.
Segera Nicko mengabadikan kejadian yang menurutnya menarik itu dibalik lensa kameranya. Setelah mengambil beberapa foto, ia menghela nafas panjang betapa ia rindu pada sosok wanita yang selama ini begitu banyak mempertaruhkan segalanya agar dirinya selalu menghargai hidup. Tapi kini apalagi yang perlu dihargai, kehidupan pun rasanya tak menghargainya lagi dan dengan tega mengambil sosok itu darinya, begitu pikirnya.
Di sudut kanan, matanya menangkap lagi seorang pasangan muda-mudi yang tengah menikmati dinginnya malam sembari saling bersenda gurau mungkin agar malam yang dingin ini berubah menjadi ceria. Ia potret kembali kejadian itu, barangkali mereka menginginkannya, pikirnya.
Di bangku jalan trotoar ia sandarkan punggungnya, tas ransel kumal yang berisi kamera itu Nicko simpan di sebelahnya. Ia regangkan tangan dan juga kakinya beberapa kali, Nicko merasa dunia kini membuatnya pegal-pegal. Pikirannya, hatinya dan juga jiwanya.
Mengenangkan sesuatu yang telah terjadi adalah satu-satunya jalan agar ia tak terlalu merasa kesepian. Ia teringat wanita kuat yang selalu ada untuknya pernah memberitahunya sesuatu saat ia masih berusia 10 tahun. "Ko Mama tidak akan pernah bisa berjanji sampai mana Mama bisa selalu membela kamu didepan Papa. Tapi yang pasti Papa bersikap keras itu karena Papa ingin kamu menjadi orang yang kuat dalam kondisi apapun, jangan benci ayahmu ya Ko." Begitulah tutur kata Mama Nicko.
Nicko tertawa mengingat nasehat Mamanya, tapi tidak dengan hatinya ia menangis sejadinya disana. Bagaimana tidak, ia telah dibohongi kedua orangtuanya. Mana sosok yang akan tumbuh jadi kuat katanya, ia teramat sangat menderita sekarang, seluruhnya rapuh tak tersisa. Ia tak bisa kehilangan kedua orang yang teramat sangat ia percaya dan ia cintai itu.
Setelah peregangannya selesai, Nicko beranjak dari bangku itu dan melangkah untuk kembali pada rumah yang tak tahu ia harus berbuat apa disana. Langkahnya sengaja ia perlambat agar tak sampai dengan cepat ditempat yang sekarang dipenuhi dengan kepiluan itu. Nicko merasa tubuhnya kini gemetar dan bersuhu dingin di telapak tangannya. Baru ia sadari ia tidak memakan apapun semenjak hari kepergian ayahnya, dan kini sudah 2 hari lewat dari hari itu.
Buru-buru ia menghampiri dapur yang masih rapi semenjak tak pernah ia pakai tapi sedikit berdebu. Ia membuka lemari pendingin, dan melihat ada beberapa telur yang masih tersisa. Beruntungnya Nicko tak terlalu bodoh dalam memasak meskipun ia tak sepintar mamanya. Nicko masih bisa jika hanya memasak telur dadar. Ia mulai menggoreng telur, dan setelah masak segera ia lahap agar ia tak mati konyol.