Awan Jingga

Zahrae
Chapter #3

Chapter 3

Setiap orang, punya momen terbaik dalam hidupnya.

Aku pulang tepat jam enam sore. Pelanggan sepi. Tidak ada orang di kafe kami. Di depan rumah memang ada kafe mie, persis di pelataran teras. Menunya berbagai macam mie, khas negara sendiri dan negara lain. Furnitur yang terbuat dari kayu, hampir semua yang ada di kafe ini terbuat dari kayu. Mulai dari kursi, meja, tempat tunggu, bahkan dinding-dinding terbuat dari kayu. Hiasan dinding, figur-figur juga bernuansa kayu.

Kafe ini terbilang bagus, desainnya rapi, meski dari kayu, minimalis dan terkesan unik, tampak keren.

Aku melangkah masuk ke dalam, dan langsung menuju kamar. Perutku sangat lapar, salahku sendiri juga tadi saat kak Danish menawarkan makan aku malah menolak, alhasil pulang-pulang kelaparan. Aku menghempaskan badan ke kasur, ingin memejamkan mata, namun karena perutku memberontak minta diisi aku segera bangkit, dan melepaskan sepatu yang masih terpasang di kaki.

Setelah menyimpan sepatu di tempat biasa, aku duduk di kursi meja belajar. Merenggangkan otot dan bersandar lemas.

Suara gemercik air terdengar dari dalam kamar mandi, pintu berdecit pelan, seseorang keluar dari dalam. Ternyata adikku. Senja, dia baru saja selesai mandi.

"Buatkan aku samyang, cepat!" perintahku pada Senja, ekspresi sengaja di melas-melaskan agar Senja percaya bahwa aku benar-benar lelah. Dia berhenti mengeringkan rambut.

"Nggak!" tolak Senja dingin.

"Aduh Senja, cepat buatin!"

"Heh! Gak liat apa tadi gak ada pelanggan? Itu semua karena semua sudah habis. Semuanya! Makanya kalau pulang sekolah itu langsung pulang, jangan kelayapan ke mana-mana. Di sini tuh banyak kerjaan, gak tau apa orang sibuk banget, ketir-ketiran, belum lagi ada pelanggan yang gak sabaran, gak bisa nunggu makanannya, ehhh situ malah enak-enakan pergi, emang ya dari dulu ka—"

"STOP!" Aku mengangkat tangan. Duh adikku yang cuma satu ini memang cerewet. Kalau tidak diberhentikan bisa panjang kayak kereta api tuh omongan dia. Untung adik, cuma satu pula.

"Kalau gitu ambilin makanan apa aja deh, terserah." Aku mengibas-ngibaskan tangan, menyuruh Senja agar cepat beranjak. Tapi dia, bukannya cepat bergegas malah berkacak pinggang.

"Nggak mau!"

"Ih kamu! Nggak bisa apa nolongin kakaknya! Laper banget nih, lemas mau ambil sendiri!" teriakku pada Senja.

"Lemas, lemas, itu teriak-teriak gak lemas," jawab Senja.

Adikku menggantungkan handuknya. Dia melirik ke arahku, lantas melemparkan handukku ke wajahku.

"Apa-apaan sih!"

"Mandi sana!"

"Tapi laper."

"Mandi dulu, Kakak bau tau! Makannya nanti aja sekalian makan malam."

Eh anak ini, orang kelaparannya sekarang disuruh makannya nanti malam. Senja menarik tanganku, dan mendorongku masuk ke kamar mandi. Adikku yang cuma satu ini, sudah cerewet, bawel, pengatur lagi, harusnya kan aku yang mengaturnya.

***

Kini kami semua berada di meja makan. Menu kali ini Ibu memasak sup ayam. Aku makan dengan lahap, menyeruput kuah cepat. Saat aku menyendok ayamnya lagi, Senja menepuk punggung tanganku.

"Makannya pelan dikit napa, rakus amat," cibir Senja.

Aku meliriknya sinis, menjitak jidatnya pelan. Kan dia sudah tahu aku kelaparan. Ayah menengahi saat Senja hendak membalasku. Ayah memberi potongan ayam lagi kepadaku juga ke Senja. Aku tersenyum, di keluarga kami memang Ayah yang terbaik, aku mencintaimu Ayah.

Lihat selengkapnya