Terkadang Tuhan memberikan beban berat di pundak seseorang bukan untuk menyusahkannya, justru dibuat untuk menguatkannya, melatih hatinya agar bermental baja.
Angin malam menyelimuti tubuh, dinginnya menusuk tulang. Tapi kami bertiga tidak langsung pulang ke rumah. Senja memilih menikmati sungai. Janu mengiyakan. Kami bertiga di atas jembatan, bersandar di depan pagar melengkung yang terpasang kokoh di sisi pinggir jembatan ini. Daerah sungai cukup ramai kalau hari libur, anak-anak di kota ini suka bermain di pinggiran sungai tapi tidak boleh masuk untuk berendam di dalamnya karena sungai ini tempat budidaya ikan koi.
Aku melihat pantulan cahaya bulan di dalam sungai. Di permukaan air tampak remah roti mengapung, itu dari Senja. Ini adalah hobinya, menabur roti untuk melihat ikan-ikan berebut memakaninya. Dulu juga begitu, di samping rumah kami yang lama terdapat kolam ikan buatan Ayah. Senja selalu memberi makan ikan itu sesekali dengan remah roti, maka dia akan tertawa. Setiap sendiri dia selalu berbicara dengan ikan sesuai suasana hati. Kalau Senja bahagia dia tertawa bersama ikan-ikan, tapi kalau Senja sedang sedih terkadang dia menangis, terkadang teriak atau malah pura-pura tertawa. Aku tahu itu saat memperhatikan Senja diam-diam.
"Sudah larut, balik yuk!" Janu memecahkan keheningan, aku dan Senja turut menggangguk. Betul ini sudah lewat pukul sepuluh malam kami harus pulang.
"Oh iya tadi kamu pulang jam berapa, Jingga?" Janu bertanya, aku langsung menoleh.
"Jam enam sore." Itu suara Senja, dia yang menjawab. Aku menyengir saja saat Janu melihatku dengan aneh—hanya menurutku.
"Kok lama, emang ngapain aja."
Eh Janu kenapa dia jadi bertanya-tanya seperti itu.
"Iya tuh ngapain aja pulang-pulang malah kelap—" Aku membungkam mulut Senja cepat-cepat sebelum perkataannya kemana-mana.
"Ah, nggak ngapa-ngapain kok cuma ngobrol tentang musik." Senja menepis tanganku kasar, tapi untungnya dia tidak bicara apapun lagi.
"Selama itu?" Janu mengernyit heran. Dan aku juga heran dengan keheranan Janu, kenapa dia harus heran? Heran deh liatnya.
"Ya itu karena kita harus menyiapkan perlombaan yang tiga bulan lagi, maksud aku acara ini di luar sekolah. Dengan lagunya ciptaan sendiri. Berdua deng, karena aku sama dia," jelasku menggantung.
"Maksudnya karena kita join gitu," aku memperjelas dengan kekehan pelan.
"Lomba? Di luar sekolah?" tanya Janu.
"Iya, lomba ini tidak bersangkutpaut dengan sekolah, kami akan meminta izin sebulan sebelum keberangkatan ke kepala sekolah, hadiahnya lumayan besar."
"Emangnya di mana, jauh ya?" Janu bertanya lagi.
"Di luar kota."
Lengang. Kami meneruskan perjalanan pulang yang tidak jauh lagi. Senja dari tadi diam saja, dia juga belum tahu pasal ini karena aku belum bilang ke orang rumah. Aku menunggumu momen yang pas untuk bilang, mungkin beberapa hari lagi saat makan malam—mungkin.
Tak terasa rumah kami sudah sampai. Kami masuk menyisakan Janu yang berjalan sendiri. Janu melambaikan tangan aku membalasnya, tersenyum sedikit. Rumah rumah sepi, Ayah sama Ibu pasti sudah tidur dari tadi. Kami berdua segera naik ke atas karena memang kamar kami di atas untuk tidur.
Senja membuka amplop coklat yang diberi Pak Rud tadi matanya berbinar saat melihat isi amplop tersebut.
"Wah, kali ini hasilnya tiga kali lumayan." pekik Senja.
"Kan bayarannya kali ini lumayan banyak, jadi bagian Kakak buat mau beli apa. " Senja bertanya. Aku berpikir sejenak, untuk membeli apapun tak terlintas dipikiran.
"Buat kamu aja deh."
"Serius?" tanya Senja, posisi duduknya langsung tegap.
"Ini seriuskan, Kakak gak bohongin aku, kan?" Senja memastikan, aku menoel hidungnya.
"Enggak, buat kamu. Serius!"
Senja memekik kesenangan, dia memelukku erat sampai membuat tubuh kami terhuyung ke kasur. Senja berucap terima kasih.