Sudah terlambat, terciduk kamu, hedeh lengkap sudah malunya.
"Teng teng teng teng teng ... banguuun ... banguuuun!"
Nyanyian itu terus terdengar di telingaku, sebetulnya berat sekali membuka mata, tapi karena itu sangat berisik, aku memaksakan mataku agar terbuka untuk menyaksikan siapa yang berisik itu.
Aku melihat Ibu memegang sendok dan panci. Oh ternyata bunyi berisik itu berasal dari Ibu. Mataku mengerjap terkena silau, masih dengan keadaan malas aku mencoba duduk. Aku menguap sambil merentangkan tangan. Sementara Ibu malah memukulku dengan sendok, meski pelan tetap saja aku terkejut.
"Kamu sudah malas sekolah ya!" omel Ibu berkacak pinggang.
"Ya nggak lah!"
"Ini sudah jam berapa!" Ibu bergaya seolah menunjuk jam di tangannya yang kosong.
"Sudah jam tujuh lewat! Kamu lama sekali bangunnya!"
Demi melihat Ibu yang seperti itu aku berhenti menguap, diganti dengan mata yang membulat sempurna. Rahang yang tertarik gravitasi, membuat mulutku terbuka, pasti Ibu bercanda. Aku mencari ponselku di nakas, melihat jam yang tertera membuatku ingin menangis.
***
Demi apa aku bisa bangun jam segini. Pasti saat sampai aku sudah sangat terlambat. Bus sekolah sudah tidak lagi lewat jam segini, jadi aku terpaksa berlari sekencang mungkin. Begitu bangun tidak pakai mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi, setelah itu menyemprotkan parfum sebanyak-banyaknya.
Saat sampai di depan gerbang sekolah aku berhenti melangkah, mengintip Satpam yang sedang minum kopi, napasku tersengal karena berlari. Aku mengembus napas berat, bagaimana caranya aku melewati satpam tanpa kena omelan apalagi hukuman.
Ini semua karena Senja, anak itu kenapa tidak membangunkanku, malah dia pergi dengan aman meninggalkanku yang bergelung selimut, dasar adik durhaka!
Aku teringat sesuatu, ide itu terlintas di kepalaku. Aku tahu bagaimana caranya masuk ke kelas tanpa kena hukuman. Tembok belakang. Yap, aku segera berlari memutar arah.
Saat sampai ditujuan aku tersenyum riang, dan kejadian waktu itu terulang kembali. Aku jadi deva ju ketika hendak memanjat tembok ini. Waktu itu aku pernah terlambat, ketika aku bersiap memasuki gerbang seseorang menarik tanganku. Membawaku ke mari. Ke belakang sekolah. Katanya kalau lewat depan bisa dimarahi habis-habisan, dan aku tahu itu. Jadi cara amannya adalah lewat sini, tembok belakang sekolah.
Cukup tinggi, sebenarnya aku takut untuk naik, takut terjatuh dan itu pasti sakit. Seseorang itu juga membantuku naik, dan saat bersamaan aku jatuh—sudah kuduga awalnya aku akan terjatuh—dan saat itu pula dia menangkapku, menyelamatkan punggungku yang hampir terhempas ke tanah. Seseorang itu Kak Danish. Iya Kak Danish, seseorang yang aku suka itu.
Senyumku kembang saat mengingat itu, meski memalukan tapi tak bisa dipungkiri bahwa momen itu termasuk momen manis bagiku.
Aku mengeluarkan suara puh pelan, memanjat tembok setinggi tiga meter ini tetap membuat bergidik. Takut dan harus siap jatuh demi masuk kelas. Tembok ini licin bagiku, susah sekali, menaikkan kaki saja terasa berat. Dan ketika aku hendak mencapai puncak, tinggal menaikkan satu kaki lagi, tapi ketakutan yang aku bayangkan muncul. Aku sempat menjerit dan memejamkan mata sebelum sempurna terpeleset jatuh dari atas.
Sedetik, dua detik, tiga, empat, lima, eh tapi aku seperti tidak merasakan benturan keras pada punggungku. Aku membuka mata perlahan, melihat ke samping, dan ternyata lagi-lagi aku terselamatkan. Kali ini dengan orang yang berbeda. Dia sempat tersenyum saat aku menoleh, dan dia teman satu kelasku, Janu Ariansyah.
***
Aku tersenyum kikuk terhadap Janu. Sementara dia biasa saja, bahkan tidak menanggapi. Sekarang kami berada di taman sekolah. Tadi saat aku berniat membuka pintu Janu buru-buru menarikku. Karena ini pelajaran Bu Farimida, dia bisa mengamuk saat mengetahui siswanya datang telat. Jadi kami memutuskan menunggu pergantian les, paling hanya mendapat tatapan heran dari teman sekelas, tapi itu tidak apa-apa, dibanding harus dihukum, malas sekali mengerjakan hukuman, apalagi kalau hukumannya berat.
"Ehem." Aku berdehem pelan, berusaha memecah kesunyian.
"Kamu kenapa terlambat?" tanyaku.
Janu menoleh, lantas kembali menatap depan. "Mama kambuh," jawab Janu setelah cukup lama berdiam.
Aku menghela napas, kasihan menatap Janu, pasti sangat menyakitkan sekali menghadapi itu, Mamanya yang kambuh pagi-pagi cukup merepotkan.
"Tapi kali ini Mama aku gak marah, dia malah tertawa-tawa." Janu menyeringai pelan, aku tahu itu nada kecewa.
"Padahal Mama aku ketawa, tapi si Mbok malah nangis, aneh sekali. Aku jadi harus menenangkan dua orang sekaligus." Janu terkekeh, aku bingung harus menanggapi seperti apa, jadi aku memutuskan untuk diam saja.
"Oh iya, kamu kalau terlambat biasa lewat tembok belakang, ya?" Mengganti topik untuk mengusir hening akan lebih baik.
"Enggak, malah baru tahu trik itu barusan." Aku mengangkat alis, Heh, baru tahu?
"Iya, aku baru tahu tadi, saat aku lihat kamu di pagar, bukannya masuk malah mutar balik ke arah belakang, awalnya aku gak tahu kamu mau ke mana, jadi aku ikutin aja. Terus aku lihat kamu lagi natapin tembok cukup lama, sampai kamu gak sadar aku persis di belakangmu, hingga akhirnya kamu putusin buat manjat. Eh malah jatuh, dan aku siaga nangkapnya." ujar Janu cukup panjang, seakan dia tahu apa yang aku pikirkan. Aku menggaruk tengkuk tak gatal mendengar tuturan Janu.
"Kalau kamu sendiri kenapa terlambat?" tanya Janu yang sepersekian detik membuatku gugup terdiam.
"Hei." Janu menyikut lenganku, sontak saja aku kaget.
"Hah?" Demi menjawab Janu.
"Kok malah bengong." Janu menaikkan alis. "Kamu sendiri kenapa terlambat?" tanyanya lagi.
"Heh, anu, itu, aku, emm." Aku bingung harus menjawab apa, ya kali aku bilang molor, malu lah. Janu menatapku masih menunggu jawaban, hingga akhirnya suara bel pergantian les menyelamatkanku.
Kring kring
"Eh, dah bel, yuk buruan masuk. Bu Farimida sudah keluar tuh." Aku berkata pelan, mengalihkan pembicaraan.
Janu terkekeh, dia mengacak rambutku lantas berdiri. Aku merapikan poni yang sedikit—lebih terlihat seperti anak poni— karena di acak Janu.
"Jingga!" panggil seseorang, aku dan Janu menoleh. Deg, itu Kak Danish.
"Kamu telat ya?"
Aku melotot sambil menggigit bibir bawah. Tidak mau menjawab pertanyaan Kak Danish, lebih-lebih karena kalau dijawab pasti akan ada pertanyaan selanjutnya, lagian kenapa pula bisa ada Kak Danish tiba-tiba.