Awan Jingga

Zahrae
Chapter #6

Chapter 6

Penyesalan selalu datang di akhir, kalau datang di awal, bukan penyesalan namanya.

Aku turun dari bus yang berhenti di persimpangan jalan menuju rumah. Masih sekitar dua kilometer lagi aku harus berjalan agar benar-benar sampai di rumah. Tadi saat pulang sekolah aku sempat bertanya pada Janu perihal yang katanya belajar bersama itu. Eh, ternyata Janu ada job ngajar Calvin, orang yang sering bersamanya.

Sebenarnya aku kesal, apa Janu bercanda bilang belajar barengnya. Huft, karena candaannya yang tidak lucu itu aku jadi gagal nonton sama Kak Danish. Padahal jarang-jarang aku bisa jalan bareng dia. Giliran ada kesempatan malah gagal.

Tiba persis di depan rumah membuatku lebih kesal lagi. Rumah sepi, cafe tutup. Penghuninya ke mana semua sih, aku ditinggal sendiri.

Kunci diletak di bawah pot—tradisi sejak dulu, kalau berpergian menaruh kunci di bawah pot. Aku langsung mengambilnya. Membuka pintu, masuk, dan mencari makanan. Perutku meronta minta di isi. Setiap lemari sudah kuperiksa, kulkas juga. Namun, tak ada satupun makanan jadi, yang ada bahan makanan mentah, dan mi instan. Hedeh, harus masak lagi.

Aku tak sengaja melihat kertas kecil tertempel di atas meja. Kubuka kertasnya, di sana tertulis:

Ayah sama Ibu pergi dulu, kamu jangan ke mana-mana ya. Jagain rumah. Jangan lupa bersih-bersih, dan pakaian jangan lupa disetrika! Terus kalau Jingga mau makan masak sendiri ya, Ibu tadi gak sempat masakin. Oh iya, Senja bilang mau nginap di rumah temannya, jadi kamu di rumah aja sampai Ayah dan Ibu pulang. Ingat! Jangan ke mana-mana. Ayah dan Ibu pulang nanti malam.

Selepas membaca itu aku meremas kertasnya kesal, membuangnya ke keranjang di samping kulkas. Menu andalan kali ini adalah mi instan, itu satu-satunya solusi jika kalian lagi malas masak. Aku mengambil panci sekaligus mi yang tertera di lemari. Lantas menanaknya di atas kompor, kemudian menunggu. Usai masak langsung di makan.

Setelah perut kenyang aku jadi semangat bekerja. Mulai membersihkan dapur, ruang tamu, kamar kami, hingga seluruh ruangan sudah bersih. Termasuk cafe. Kegiatan itu cukup menguras tenaga. Aku istirahat sebentar, dan jam empat sore aku mulai menyetrika setelah mandi. Baru saja memulai ponselku berdering, tanda panggilan masuk, aku meraihnya. Di sana tertera nama Kak Danish ♡. Tentu saja aku menggeser tombol hijau.

Sapaan di sebrang sana terdengar. Aku balas menyapa juga. Kami bercengkrama hangat seperti biasa, dengan topik yang berganti-ganti. Hingga Kak Danish teringat kejadian tadi pagi, dia bertanya perihal Janu. Aku menjelaskan bahwa Janu adalah teman sekelasku, teman dekatku, tetanggaku, dan bisa dibilang Janu sahabatku juga. Lagian aneh saja Janu kan ketua OSIS, pasti Kak Danish sudah hapal dengan Janu. Tapi bedanya Kak Danish bukan bertanya tentang itu, dia bertanya hubunganku dengan Janu.

"Tadi kan aku dah bilang, kalau Janu itu termasuk kategori sahabat aku."

"Seriusan?"

"Ya iyalah."

Aku memperbaiki posisi ponsel yang ditopang dengan bahu. Agar bisa menyetrika sambil telepon.

"Kamu suka sama dia?"

Aku tertawa mendengar pertanyaan Kak Danish. Tapi dia menghiraukan, dan malah bertanya lagi dengan pertanyaan yang dibalik.

"Atau dia suka kamu?"

Aku masih tertawa, tapi tidak seheboh tadi. Tanganku masih awas menyetrika.

"Kakak kan tahu kalau Janu punya pacar." Ya pasti rata-rata murid sekolah tahu, kalau kedua orang populer itu pacaran.

"Kan siapa tau dia suka kamu, gak suka pacarnya."

"Ah udah ah, gak usah bahas itu."

Lihat selengkapnya