Awan Jingga

Zahrae
Chapter #7

Chapter 7

Kita tidak pernah bisa mencegah musibah yang menimpa kita, tapi setidaknya kita harus berhati-hati sebelum musibah itu menimpa.

"Lakukan operasi segera Dok, saya yang akan tanggung biayanya!"

Deg! Suara itu merobek kesedihan yang mencekam disuasana ini. Dokter mengangguk segera masuk, wajahnya cepat ceria lagi. Bukan hanya dia yang merasakannya. Kami semua, yang berada di ruangan ini turut bersuka. Pikiranku masih menerawang ke Kakak anak kecil tadi, matanya sudah basah.

Perempuan berseragam putih menghampiri Bapak baik hati yang bersedia menolong. Menyodorkan selembar kertas untuk ditandatangani. Bapak itu meraih kertas dan pulpen dari perawat, dia cepat menoreh tanda di kertas putih itu.

"Baik Pak, mau bayar uang muka atau langsung lunas, mari ikut saya." Perawat itu menuntun Bapak baik hati ke meja resepsionis.

Aku mengajak perempuan yang di depanku untuk duduk di kursi tunggu. Dan dia malah memelukku erat, dia terisak, bahunya berguncang. Aku mengusap punggungnya pelan, menyalurkan sisa kehangatan yang kupunya.

"Makasih Kak, makasih Kakak sudah nolongin adik aku." Aku memejamkan mata mendengar itu, ikut terisak pelan, dan memeluknya lebih erat lagi.

***

Ini sudah lewat pukul delapan malam. Kami masih menunggu hasil operasi dalam keheningan.

"Oh iya, nama kamu siapa?" Aku mencoba memecah keheningan.

"Sheila."

"Kalau adik aku namanya Sania."

"Nama Kakak siapa?" tanyanya riang.

"Jingga."

Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Bapak baik hati juga masih menemani. Hening, hingga akhirnya Dokter keluar dan menyalami si Bapak baik hati. Hasil dari operasi lancar. Darah Sania banyak stoknya di rumah sakit.

Meski operasi telah usai Dokter belum mengijinkan satupun yang masuk. Hanya boleh melihat dari kaca luar. Bapak baik hati menarik tanganku, dia bilang aku harus pulang. Ini sudah malam, pasti orang tuaku mencari. Aku mengangguk. Lagi pula Kakak Sania sudah ada menemani. Bapak baik hati menawarkan tumpangan. Aku menyetujui. Meminta diantar ke simpang jalanan tadi saja. Aku harus mengambil sepeda dan ponselku.

Kami bergegas ke parkiran depan. Si Bapak baik hati kali ini menyetir dengan santai. Dia menyalakan instrumen musik piano. Aku menikmatinya, hapal dengan nada ini.

Aku berharap, suatu hari nanti aku bisa bertemu Sheila. Agar bisa bertanya perihal mereka.

"Saya tadi sudah menduga bahwa kamu bukan kakak dari anak tadi."

"Bapak, tau dari mana?"

"Sania itu salah satu peserta model cilik, dia masuk nominasi. Baju yang rapi tadi juga dari acara yang diadakan. Saya yang menyelenggarakan acara tersebut. Makanya saya hapal dengan peserta. Sania peserta yang satu-satunya kurang mampu."

Bapak menoleh ke belakang. Aku mengangguk, jadi begitu ceritanya.

"Tapi kamu sangat baik sekali mengkhawatirkan orang yang bukan siapa-siapa kamu."

"Kamu tidak usah khawatir setelah ini, biar sisanya saya yang urus."

Mendengar itu, aku tersenyum. "Terimakasih Bapak Baik Hati." Bisa kudengar Bapak itu terkekeh.

Lihat selengkapnya