Awan Jingga

Zahrae
Chapter #8

Chapter 8

Rambut yang di acak, hati yang berantakan.

Setelah dua hari tidak sekolah, hari ini aku memutuskan hendak sekolah saja. Aku berangkat bersama Janu. Tidak naik bus seperti biasa, kali ini naik sepedaku yang telah diperbaiki. Tadi saat aku melihat Senja wajahnya masam sekali, dia cemburu gitu? Haha, dasar cerewet cuek, aneh banget kelakuannya.

Aku mencengkram kuat baju Janu saat dia berbelok tajam dengan kencang. Janu tertawa mengetahui ketakutanku. Aku mencubit pinggangnya karena sudah bermain-main seperti itu. Tidak tahu bahaya apa? Kalau jatuh pasti sakit. Dan Janu dengan ringan bilang santai saja.

Tawa Janu masih bersisa, bahkan saat sepeda kami sudah terparkir rapi. Aku memukulnya kesal yang masih saja menertawakan. Tapi tawa Janu dan gerakanku berhenti saat derum motor seseorang memarkirkan diri tepat di samping sepedaku.

"Pacarnya siapa, cinta-cintaannya sama siapa, heh." Abi menyeringai, perkataannya tadi menyindir Janu. Aku melihat wajah Janu mengeras. Kenapa setiap berhubungan dengan Abi, Janu menjadi sentimental. Aku menarik tangan Janu untuk segera masuk. Dan ketika kami belum sampai ke kelas bertemu dengan Zelin. Matanya mengarah ke tanganku yang menggenggam tangan pacarnya. Sontak aku langsung melepaskan.

"Eh, ini gak seperti yang—"

"Janu!" potong Zelin. Dia memeluk Janu, wajahnya terlihat kesal. Dih ngapain peluk-pelukan di depan orang lain. Aku langsung pergi saja, ntar malah jadi nyamuk ngadepin mereka. Aku menoleh ke belakang untuk melihat, apakah mereka masih pelukan. Ternyata tidak. Zelin menghentakkan kakinya kesal, dan Janu datar seperti biasa. Dia menarik tangan Zelin lalu mereka pergi.

***

"Akhirnya kamu sekolah juga, aku kangen tau," pekik Manda riang, dia memelukku erat sampai aku hendak terjatuh.

"Manda ih, baru juga dua hari gak masuk."

"Ye dasar gak pengertian kamu." Manda menjitak poniku pelan. Gak pengertian gimana? Manda ini kalau ngomong suka aneh.

"Eh Jing, rumah kamu kebakaran yah, terus-terus gimana?"

"Gak usah pake Jing juga kali manggilnya!" cibir Manda saat Jefri datang dan bertanya. Jefri minta maaf tapi Manda seakan tidak ikhlas. Manda dan Jefri ini memang sering bertengkar, bahkan mereka terlihat seperti pasangan serasi bila marah-marahan. Lelaki berkacamata bulat itu menyambung pertanyaannya lagi. Tidak hanya Jefri, banyak juga yang bertanya tentang itu.

"Ya, gitulah. Sebentar lagi rumah aku bakal direnovasi kok." jawabku.

Mereka mengangguk-angguk.

"Eh Jing yang sabar ya."

"JEFRI! BISA GAK SIH GAK USAH PAKE JING NGOMONGNYA, TERKESAN KAYAK BILANG ANJING TAU!" Manda menjewer kuping Jefri. Aku tertawa melihat keisengan mereka. Jefri memang suka menyingkat namaku, hal itu membuat Manda marah.

***

Aku dan Manda duduk menonton latihan bola kaki. Ini waktunya istirahat ke dua. Jadi kami memutuskan melihat Kak Danish latihan memperebutkan bola di lapangan. Bajunya basah karena keringat, meski begitu, tak mengurangi sepeser pun ketampanannya.

"Kak Danish semangat!" teriakku dari atas tempat duduk penonton. Dia menoleh sambil mengacungkan jempol. Aku tersenyum, hatiku berbunga-bunga akan itu. Perihal rumah, Kak Danish sudah tahu, tapi dia tidak bisa datang, sebab Kak Danish harus mengantar Grandmanya pulang, dia juga baru bersekolah hari ini. Kak Danish menyemangatiku, menasehati agar tetap sabar, serta memberiku sedikit kebahagiaan berupa susu yoghurt. Itu minuman kesukaanku.

"Kalau aku pikir-pikir rumah kamu kebakaran karena Kak Danish, deh." ujar Manda.

Aku menoleh dan menggeleng. Ya tidaklah, Kak Danish kan tidak tahu apa-apa, kenapa pula dia disalahkan.

"Maksudnya coba aja kamu gak keluar rumah buat ketemu sama dia, pasti kamu gak lalai, terus kamu juga gak liat kecelakaan itu, dan rumah kamu aman."

Aku mengembus napas berat. Manda benar, lagipula penyebab terbesarnya adalah kecerobohanku sendiri. Kenapa aku tidak hati-hati dan bisa terlupa begitu. Kalau kata Manda itu karena aku pikun. Terus bagaimana? Sudah kejadian juga.

"Tapi yaudahlah, sudah takdir juga bakal kejadian. Ambil hikmahnya aja." ucap Manda. Hemm, tumben Manda begini.

"Hikmahnya biar kamu gak pikun terus ceroboh!" Manda menunjuk jidatku. Hedeh Manda yang sebelumnya kembali lagi.

Aku mengerucutkan bibir, kembali memperhatikan area lapangan. Tempat ini tidak ramai kalau tidak ada tanding. Hanya ada beberapa orang yang duduk secara terpisah.

"Apasih alasan kamu suka sama Kak Danish?" tanya Manda, dia menyikut bahuku.

"Alasannya masih sama." Aku sudah bilang berulang kali ke Manda, bahwa aku tidak tahu kenapa aku anggap Kak Danish sebagai cinta pertama. Belum setahun kami mengenal, namun aku sudah menyebutkan cinta. Perasaan-perasaan begitu kan datang tanpa diminta.

"Kalau karena Kak Danish baik dan perhatian. Janu lebih dari itu ke kamu. Kalau karena Kak Danish tampan seperti Janu tidak kalah dari itu."

Apaansih! Nggak Senja, nggak Manda bahasnya Janu mulu. Sok tahu banget sama perasaannya si Janu.

"Janu kan sudah punya pacar!"

Lihat selengkapnya