Kita tidak boleh takut, kalau kita sama sekali tidak bersalah.
"Kalau Pak Taki nggak balikin buku itu, terpaksa aku harus ambil diam-diam, Man."
Manda menggeleng. "Nggak-nggak, gak bisa kalau kamu ambil buku itu diam-diam. Kamu tahu kan kalau sekolah kita ini sedang kacau."
Aku diam, belum mengerti apa maksud Manda.
"Akhir-akhir ini ada pencuri yang mengambil data-data sekolah, gimana kalau ketepatan kamu ketahuan dan pihak sekolah malah nuduh kamu."
"Hah pencuri data?" Dari mana Manda tahu berita itu, padahal belum hangat dibicarakan di sekolah. Aku menepuk jidat, lupa kalau dia kan anggota klub gosip, eh maksudnya klub EAS (Entertainment About School). Klub yang membahas, memberi, informasi tentang sekolah. Entah itu berita baik, atau buruk, klub mereka lah yang menyebarkan, memasang di tabloid sekolah, atau memajang di mading.
"Iya, kamu nggak boleh ambil buku itu sekarang, kita bakal pikirin caranya agar buku itu balik ke kamu ... meski gak bisa secepatnya."
Aku mendengus, tidak bisa begitu. Bagaimana kalau Kak Danish menagih catatannya, mau bilang apa aku. Kalau dia tahu buku itu diambil Pak Taki, Kak Danish pasti akan marah. Pokoknya aku akan tetap mengambil bukunya nanti malam, pasti akan lebih aman. Aku mengembus napas pelan, mengangguk yakin.
Manda berdiri dari tempat duduk, dia menarik tanganku.
"Yuk, pulang," ajak Manda.
Aku celingak-celinguk mencari seseorang. Janu, kan aku tadi pagi berangkat bareng dia. Sekolah sudah sepi, para murid sudah pulang.
"Jingga," panggil seseorang. Suara itu familiar, aku tahu siapa pemiliknya.
"Janu!"
"Dari tadi dicariin di sini ternyata."
"Yaudah pulang, yuk!" Janu menarik tanganku.
Aku mengangguk dan pamit pada Manda. Kami berjalan menuju parkiran. Saat tiba di sana ada hal yang mengejutkan. Sepedaku, tergeletak tidak pada tempatnya. Dan di sana ada pelakunya. Janu menggeram marah, dia menarik kerah baju Abi serta meninju pipi Abi. Lelaki itu terhuyung, balik marah dan mendorong Janu. Aku buru-buru memisahkan mereka sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Abi stop!"
"Mau kamu apasih? Kenapa kamu ngancurin sepeda aku?"
Abi melirik ke arahku. Dia hendak bicara tapi dipotong oleh Janu.
"Dasar brengsek!"
Bugh. Janu meninju Abi sekali lagi. Abi tak mau kalah, dia balas meninju Janu.
"Berhenti!" Aku berdiri di tengah-tengah mereka. Wajah Janu memerah, setiap kali berhubungan dengan Abi, Janu terlihat sentimental.
"Masih untung ya ditolongin." Abi menunjuk kesal ke Janu. "Heran, musuhnya kok banyak banget." Abi meninggalkan kami, menaiki motor, memasang helm dan pergi.
Janu mengambil sepeda, benda itu tidak bisa dikendarai. Rantainya putus, dan bannya kempes dua-dua.
Kami pulang dengan berjalan.