Hidup adalah pilihan, tapi terkadang, kita tidak bisa bebas untuk memilih.
Manda benar, seharusnya aku tidak nekat pergi tadi malam. Aku merutuki kebodohanku. Pagi ini kami berangkat naik bus biasa, karena sepeda rusak. Dadaku berdebar takut, sebenarnya tadi aku ingin bolos sekolah, tapi urung.
Saat sampai di sekolah, Janu telah disambut Zelin di gerbang. Jadi aku memutuskan masuk sendiri. Belum sampai ke kelas kulihat para murid berkumpul di mading. Aku penasaran, ikut melihat apa yang membuat mereka heboh. Aku minta diberi jalan untuk melihatnya, dan mereka berbisik-bisik saat aku datang.
What, berita macam apa ini. Di sana tertulis namaku sebagai pelaku pencuri data, pembuat onar. Dadaku panas melihat hal bodoh ini. Manda datang, dia membubarkan masa, semua murid pergi perlahan.
"Manda, ini kelakuan klub kamu, kan?" tanyaku dengan mata memerah.
Manda terlihat gusar, dia mengangguk. "Tapi bukan aku yang nempel, pasti si Benji." Manda menyebut ketua klub mereka.
"Huh." Aku berusaha menahan isak.
Tiba-tiba Kak Danish datang menghampiri, dia membaca informasi yang tertera di mading.
"Kamu ...?" tanya Kak Danish menggantung.
Aku menggeleng keras. "Bukan, bukan aku yang ngelakuin. Ini fitnah!"
Kak Danish mengernyit bingung. "Tapi ini berita apa, ya?"
Hah? Dia gak tau? Fix, golongan siswa cuek yang tidak perduli rumor yang beredar di sekitar.
"Oh, gak penting ini mah. Orang iseng. Emm nanti atau kapan kek, Kak Danish pasti tau berita tentang ini." Manda yang menjawab. Kak Danish mengangguk seolah paham.
"Yaudah, kamu yang sabar ya, semoga masalah kamu cepat selesai." Kak Danish mengusap bahuku.
"Semangat!" ujarnya lagi. Aku tersenyum, menghapus bulir di ujung mata.
Manda mengajakku masuk ke kelas. Dan Kak Danish siap mengantar. Kami bertiga berjalan beriringan. Entah dapat insting apa rasanya aku ingin menoleh ke belakang, aku menoleh melihat mading. Di sana, ada Abi. Dia berdiri memandangi mading, sedang apa dia? Kulihat dia mengeluarkan bolpoin dari saku bajunya, lantas menyoret kertas yang tertulis namaku. Eh, kenapa dia melakukan itu? Apa itu disebut kebaikan? Bibirku melengkung kecil, setitik kehangatan terasa di dada. Satu hal yang baru kutahu, ternyata, dia tidak batu-batu amat.
***
Pelajaran pertama. Biologi. Pak Taki lagi. Lima menit sebelum Pak Taki masuk Manda mengingatkan PR. Aku membelalak kaget. Bodoh! Aku belum mengerjakan PR itu. Lagi pula aku tidak tahu yang mana. Janu memberikan buku PR-nya. Menyuruh cepat salin. Aku menulis secepat yang kubisa.
"Duh, Manda kenapa gak bilang dari tadi."
"Mana aku tahu."
"Kan kamu tahu semalam aku—"
Manda memotong. "Cepat kerjakan, jangan ngoceh mulu!"
Aku mempercepat menulis, bodoamat dengan tulisan yang berantakan, yang penting cepat selesai. Namun, semua usaha gagal begitu saja. Pak Taki masuk saat aku belum menyelesaikan separuh PR. Aku buru-buru melempar buku Janu ke mejanya, agar tidak kepergok Pak Taki. Bisa runyam urusan kalau dia tahu.
Seperti hal pada umumnya, kalau guru lupa ada PR yang mereka berikan, pasti ada saja salah satu murid yang mengingatkan. Aku merutukinya dalam hati.
Pak Taki mengetuk meja pelan. Berusaha mengambil perhatian.
"Siapa yang tidak menyelesaikan tugas, silakan berdiri!"