Sabar. Definisi sabar adalah sesuatu yang tidak terbatas. Tapi, pernah gak dengar kalimat 'sabar itu ada batasnya'. Sebenarnya kalimat itu salah, justru yang terbatas adalah kita, manusia, sedangkan sabar tidak terbatas.
Umur delapan belas tahun. Hari ini, adalah hari tersial, hari menyakitkan, hari di mana aku ingin menghilang dari dunia.
Kami bertiga menunggu di restoran ternama di kota ini. Ayah, Ibu, dan Aku. Aku memakai dress terbaik, bahkan wajahku juga dirias oleh Ibu. Kami betiga sedang menunggu, menunggu sahabat Ayah. Cukup lama, hingga akhirnya rombongan itu datang. Aku melihat mereka. Rasanya aku ingin kabur dari sini, lupakan soal tidak tahu malu, namun, bagaimana caranya aku kabur, sementara Ibu memegang lenganku sangat kuat.
Lihatlah di depanku. Lelaki seumuran Ayah, dan di sampingnya berdiri orang-orang gagah. Mataku memanas, tapi aku tidak menangis.
Saat aku pulang ke rumah, aku sengaja mencuci wajah di keran taman bunga. Agar mataku tidak nampak terlalu sembap. Dengan bersenandung memasuki rumah. Bertemu Ayah Ibu.
"Nah, ini dia. Yang dari tadi ditunggu sudah datang."
"Ke mari sini, ada yang mau Ibu sampaikan."
Aku mendekat.
"Ayah sama Ibu sepakat, mau nikahin kamu."
"APA!" Aku melotot kaget. Tidak, aku tidak mau.
"Kamu harus tahu, ini jalan satu-satunya supaya kita bisa merenovasi rumah, buka usaha baru, dan bertahan hidup." Ibu memegang bahuku, berkata lirih.
"Jadi, kalian ngejual aku?" Huh, untuk kesekian menangis lagi. Bosan, aku bosan dengan adegan menangis.
"Kita gak jual kamu, menikah itu kan halal."
"Ya sama aja! Intinya kalian ngejual aku supaya dapat uang kan! Kalian tega! KALIAN JAHAT!"
"Jingga! Kami hanya menikahkanmu!"
Aku menangis kencang, tidak percaya dengan apa yang barusan kudengar. Hanya katanya? Hanya? Hanya mengambil kebahagiaan masa mudaku begitu?
"Apa yang bisa kita lakukan, ini semua demi kebaikan. Apa kamu terus-menerus mau menumpang di rumah orang lain? Kamu juga seharusnya berpikir. Bahwa ini semua salahmu!"
Iya, ini semua memang salahku, tapi kenapa cara membayar kesalahan itu begitu pedih?
"Ibu, aku tidak mau menikah Bu ..., aku mohon Bu ..., aku, aku akan kerja. Supaya kita bisa bertahan hidup, asal, asal kalian batalin rencana kalian. Aku mohon." Aku merangkak di kaki kedua orang tuaku, menangkup tangan di atas kepala.
"Bukannya kita punya tabungan, kenapa gak pakai tabungan itu dulu buat renovasi rumah dan buka usaha, pasti cukup." Aku teringat tabungan hasil dari kafe.
"Uang itu juga habis terbakar, itu semua ulahmu. Sudah, tidak ada penolakan. Hari ini kita akan bertemu calon suamimu." Ibu beranjak bersama Ayah.
Aku merutuki nasib. Menangis semakin tersedu.
"Ayah aku mohon, aku masih mau sekolah, aku nggak mau putus sekolah Ayah." Masih berusaha membujuk Ayah.
Ayah berbalik, tunduk dan memegang bahuku. "Kamu bahkan akan masuk universitas terbaik jika kamu mau mengikuti pernikahan ini."
Aku menggeleng. Bagaimanapun aku berusaha membujuk, mereka tetap bersikeras menjodohkanku. Aku menepuk dada kuat. Berusaha tegar, katanya ini untuk membayar kesalahanku. Senja, dia yang dari tadi diam saja langsung memelukku erat. Aku tahu, dia tidak bisa membantuku.
Aku kembali melihat orang yang ada di depanku, bagaimana Ibu tega menjodohkanku dengan lelaki setua Ayah. Mereka berjabat tangan, minta maaf atas keterlambatan.
Aku menggebrak meja kuat, berdiri. "Kenapa Ayah tega ngejodohin aku dengan lelaki setua Ayah!"
Ayah menepuk jidat. Orang yang di depanku juga tertawa. Ibu menyuruhku untuk duduk.
"Ha..ha.. Jadi, gadis ini mengira aku yang akan menikah dengannya. Ha.. Ha.. lucu sekali."
Eh, bukan dia? Lantas siapa?
"Nah, ini dia, orangnya."
***
Pagi ini, aku berangkat naik sepeda sendiri. Janu, dia sudah berangkat lebih awal, katanya ada urusan dengan wali kelas.
Saat memasuki sekolah orang-orang berbisik-bisik, aku tidak tahu mereka membicarakan apa, yang pasti ada kaitannya denganku. Aku menggeleng ringan, berusaha tidak peduli. Di ujung sana, aku melihat Manda sedang berbicara dengan Benji. Tentang apa aku tidak tahu. Tapi bisa kulihat dari ekspresi Manda dia tidak tertarik dengan pembicaraan Benji.
Aku masuk ke kelas, langsung duduk di bangkuku. Sebenarnya tidak nyaman saat teman-teman menatapku seolah kesal. Aku mengusir pikiran itu dengan membaca buku pelajaran.
"Sejak kapan kamu suka baca buku?" Anin menarik bukuku, melihat-lihat, lalu melemparkannya ke arahku. Aku mengembus napas, sabar, biarkan saja dia, pura-pura tidak peduli, kembali baca buku.
Anin menggebrak meja. "Mencoba mengabaikan?"
Aku tersentak kaget, menatapnya takut-takut.
"Kenapa kamu melibatkan kami."
"Kenapa kamu mencurinya?"