Kenapa realita begitu menyakitkan. Jika ekspektasi memang begitu indah, bisakah aku memilih, untuk terjebak di sana selamanya.
" Nah, ini dia orangnya."
Aku menoleh, seseorang yang dimaksud baru saja tiba. Dia mengenakan hodie abu-abu, celana jeans hitam, dan rambutnya disisir rapi. Jangan lupakan, dia juga memakai masker, jadi, aku tidak tahu rupanya.
"Nah, Jingga, kenalin ini Awan." ujar Ayah. Aku hanya menatap orang itu dingin, tanpa berniat mengulurkan tangan untuk salaman. Sejenak suasana jadi canggung. Ayah tertawa, demi mencairkan suasana. Ayah mengacak rambut pria itu, "Bagaimana kabarmu, Nak. Lama tidak berjumpa."
"Baik, Om." Awan menyalam Ayah. Kelihatannya mereka tampak akrab. Pasti mereka sudah pernah bertemu.
Orang tua dari Awan menyuruhnya membuka masker. Awan mengangguk. Tampaklah wajahnya. Seseorang yang tidak pernah kuduga.
Abi?
Penampilannya di sini dan di sekolah sangat berbeda, tentu saja aku tidak menyangkanya. Di sekolah, rambutnya acak-acakan, baju kusut, tampang muka seperti tak mandi. Dan di sini, liatlah, dia tampak maskulin tapi terkesan cool. Melihat tampilannya saat di sekolah, aku bahkan kurang percaya kalau dia anak direktur, anak pemilik sekolah yang konon katanya punya belasan pembantu di rumah. Dan bagaimana bisa dia berangkat dengan baju yang tidak disetrika. Oh, ngomong-ngomong pemilik sekolah, aku baru menyadari kalau Bapak-bapak yang di depanku adalah pemilik sekolah kami. Pantas saja dia tampak familiar.
Dan Abi? Sejak kapan namanya jadi Awan. Kudengar Ayah dan Ayahnya memanggil Abi dengan sebutan Awan.
"Jadi kapan mereka akan menikah? Minggu depan?"
Aku melotot, minggu depan? Tidak. Aku tidak mau.
"Ah, keputusan yang sangat bijak Pak Banyu." Aku menoleh saat Ibu mengatakan itu. Oh Ibu, betapa teganya Ibu melakukan itu padaku.
"Tapi yang melaksanakan pernikahan ini adalah mereka. Jadi kita harus minta keputusan mereka. Apakah mereka sukarela jika menikah minggu depan."
Nah, aku suka perkataan Pak Banyu. Meminta pendapat.
"Jingga sangat setuju, jadi keputusan berikutnya kami serahkan pada Nak Awan." Ibu menepuk pahaku pelan. Oh Ibu, bagaimana mungkin Ibu jadi setega ini.
Abi atau Awan yang mereka maksud menunduk. Aku sangat berharap mulutnya mengatakan tidak.
"Yah, saya setuju."
Deg! Jantungku berhenti berdetak sesaat.
"Aku permisi ke toilet sebentar."
Aku sudah tidak tahan dengan kenyataan konyol ini. Apa ini mimpi, jika iya tolong bangunkan aku. Aku berbelok ke belakang restoran saat melihat toilet ramai. Aku sengaja memilih belakang restoran. Di tempat tidak ada orang cocok untuk meluapkan emosi. Dan di sini sama sekali tidak ada siapa-siapa, tapi, eh? Ada Abi di sini? Dia menyusulku.
Aku tidak jadi menangis, aku tidak mau menangis di depannya. Aku membuang muka saat dia menatapku lama. Dan saat air mataku hendak tumpah, Abi memplastiki kepalaku dengan plastik hitam. Dan bodohnya aku tidak segera membuang plastik itu, malah memilih menangis di dalamnya.
***
"Jangan peluk ya, walaupun kamu sedang sedih kamu jangan memelukku."
Aku memukul helm Abi dari belakang. Siapa pula yang mau memeluknya. Pede sekali.
Ponsel Abi berbunyi. Dia menepikan motornya. Mengangkat telepon, sengaja menyalakan loudspeaker. Heh dasar bolot, apa dia tidak bisa mendengar.
"Kawan, galeri sedang bermasalah. Kemarilah segera! Ada hal penting!" Suara dari seberang penuh penekanan. Tanpa menjawab Abi langsung memutuskan telepon sepihak.
"Turun!"
Hah dia menyuruhku turun.
"Cepat turun."
Aku mengikuti perintahnya.
"Maaf, kamu bisa pulang sendiri kan, aku buru-buru."
Dia mau meninggalkanku di jalan begitu? "Sepedaku?" Malah hal lain yang kusebut. Padahal aku ingin mengatakannya kurang ajar. Teganya dia meninggalkan seorang gadis di pinggir jalan.
"Nanti kuurus." teriak Abi yang mulai menjauh.
Yang aku tahu tentang dia, adalah bahwa dia orang yang paling menyebalkan sedunia. Bagaimana mungkin aku akan menikah dengan orang itu.
***
Sekarang aku sedang berada di atap rumah Janu, atau biasa disebut dengan rooftop. Menghabiskan waktu di sini ternyata cukup menghibur. Aku melihat tempat teduh, dengan meja dan kursi melingkar terbuat dari batu. Di sisi kirinya ada bangku panjang, yang terbuat dari batu juga.
Aku memandang langit, membiarkan angin menerpa wajahku. Tadi saat melewati rumah, aku sudah melihat belasan pekerja bangunan. Mungkin, tiga hari rumah kami sudah selesai direnovasi. Aku mengembus napas berat, itu artinya aku akan jadi menikah dengan orang yang tak kucintai.
"Jingga?"