Kamu adalah sesuatu yang terbaik, meski dunia menganggapmu tidak penting, tapi ada seseorang yang selalu menganggap bahwa kamu adalah dunianya.
Sehari berlalu. Aku tetap tidak bisa mendapatkan bukti bahwa aku tidak bersalah. Itu artinya aku akan dikeluarkan dari sekolah. Lupakan soal panggilan orang tua. Surat itu tak sampai pada Ayah dan Ibu. Lagipula aku tinggal keluar saja dari sekolah ini, guru tidak perlu bicara apapun ke orang tuaku. Aku mengembus napas gusar, menyenggol Manda yang dari tadi sibuk main ponsel.
"Man, hari ini aku bakal dikeluarin dari sekolah."
"APA?" teriak Manda kaget.
"Yang bener aja? Ini, ini gara-gara insiden konyol itu? Astaga, kepala sekolah tidak main-main dengan hukuman."
Aku menutup telinga karena teriakan Manda, kemudian mengangguk samar.
***
Kami semua berkumpul di aula sekolah. Hari ini pengumuman siswa yang akan dikeluarkan dari sekolah. Hal ini memang dilakukan setiap semester menjelang ujian. Peraturan di sekolah ini aneh bukan? Kenapa kepala sekolahnya tidak menunggu usai pembagian rapot? Aku tidak tahu jawabannya, yang kutahu dia hanya menyulitkan orang-orang.
"Baiklah saya mulai. Cukup banyak tahun ini yang akan dikeluarkan, tidak seperti tahun semalam, tidak ada yang dikeluarkan." Bapak kepala sekolah mulai berbicara di podium.
Aku berdebar, mengeratkan jemariku pada jemari Manda.
"Dari kelas dua belas ada tiga orang. Mereka adalah." Kepala sekolah menyebut nama mereka. Dan orang dipanggil maju kedepan dengan sinis. Aku mengenali mereka, mereka yang terpergok merokok di toilet. Saat ini, senior yang mengancamku, kami bertatapan. Aku menunduk tidak berani menatap matanya yang tajam.
"Pak, mereka ini sebentar lagi akan ujian nasional. Bagaimana mungkin mereka dikeluarkan." Salah satu guru berbicara kepada kepala sekolah, mungkin itu wali kelasnya.
Kepala sekolah tidak menjawab, seolah melenguh tidak perduli. Gila memang! Jika mereka dikeluarkan, artinya mereka akan mengulang kelas dua belas lagi di sekolah lain.
"Dan yang dari kelas sebelas adalah ...."
Aku memejam di detik-detik namaku akan dipanggil.
"Tidak ada!"
Hah? Tidak ada, apa artinya aku tidak dikeluarkan. Eh, tapi tunggu dulu, itu bukan kepala sekolah yang mengatakan. Semua orang yang berada di aula menoleh ke sumber suara.
"Saya pelakunya!" ujar seseorang itu terlihat santai. Dia berada di lantai dua, menyender di sisi pagar pembatas koridor lantai dua aula.
Jantungku semakin tidak karuan. Aku teringat percakapan dengan Janu, jadi apakah dia Janu? Aku belum tahu jawabannya.
"Saya pelakunya!" ujarnya sekali lagi. Si topeng hitam itu mengaku. Namun, kali ini dia betulan memakai topeng, tidak seperti yang kepergok hari itu, hanya memakai masker.
Tidak ada yang mengenali suaranya, suaranya terdengar berat seperti robot.
"Kurang ajar! Tangkap di—,"
"Ep, tunggu dulu. Anda jangan terburu-buru kepala sekolah. Mari kita lihat ini dulu." Dia menjentikkan jari. Layar tancap di belakang kepala sekolah berbunyi, sekejap langsung menampilkan tayangan. Itu adegan kesalahan kepala sekolah, seperti saat dia menelpon seseorang membicarakan makanan murah untuk kantin kami. Alhasil membuat banyak siswa sakit perut saat itu. Dari mana si topeng hitam mendapat video ini, apa dia juga seorang paparazi?
"Kurang ajar! Cepat matikan layarnya." Kepala sekolah memerintah salah satu staf.
"Aduh, cepat sekali anda mematikannya, padahal filmnya belum selesai." Si topeng hitam mendecak kecewa, meski itu terdengar seperti mengejek.
"Kurang ajar! Cepat tangk—,"
"Ep, tunggu dulu. Kita belum selesai bicara. Emmm, bagaiamana kalau video ini sampai ke menteri pendidikan, apakah sekolah ini bubar? Atau minimal anda akan dipecat?"
"Kurang ajar! Cepat tang—,"