Tidak ada yang boleh mengganggu jika kamu sedang bersamaku.
Seperti biasa, setiap pagi kelas selalu ricuh saat guru belum datang. Aku melihat ke sisi kanan, Janu, dia sedang sibuk dengan bukunya. Itu memang kebiasaannya, membaca buku. Dirinya dengan buku sulit terpisah.
Kemudian aku menoleh ke sisi kiri, Manda, dia sedang sibuk dengan riasan wajah. Oh iya, Manda ini sahabatku, orangnya lucu, dan yang pasti dia baik sekali. Manda adalah teman pertama yang mengajakku berbicara di sekolah ini. Dia suka sekali dengan riasan wajah, dan Manda bercita-cita ingin menjadi seorang perias wajah terkenal. Kalau soal ini Manda memang ahli. Tapi kalau ke sekolah Manda tetap natural, dia hanya memakai bedak dan liptint.
"Manda, liat bibirmu, jadi tebal karena dipoles liptint berkali-kali."
Manda berhenti dengan kegiatannya, dia menyimpan liptintnya dalam laci.
Lantas menoleh kepadaku dengan tatapan sebal. Mendengus dan memanyunkan bibirnya. Aku tertawa melihat itu.
Sekilas pandanganku beralih ke kursi di belakang Manda. Abimanyu. Lelaki yang dekat jendela itu, dia sering kali tidur di kelas. Wajahnya selalu menghadap jendela dengan kepala yang bersandar di meja.
"Hei! Bisakah kalian diam! Sebentar lagi Pak Sham akan datang," teriak Janu, dia memukul meja. Sontak semua langsung menghentikan kegiatan masing-masing, dengan malas mereka berucap, "yah, baik ketua. "
Tepat pada perkiraan Janu tak lama kemudian Pak Sham datang membawa setumpuk kertas.
"Pagi," sapa Pak Sham.
"Pagi Pak." Semuanya duduk rapi, membenahi posisi duduk. Pak Sham—bacanya Shem—adalah guru bahasa inggris sekaligus wali kelas kami. Masih muda, umurnya hampir kepala tiga, belum menikah, dan wajahnya masih tampan.
"Hasil ulangan kalian akan dibagikan sekarang." Pak Sham tampak memeriksa kertas-kertas itu.
"Dan akan dipanggil dari nilai terendah." Semua berseru-seru, sudah umumnya pak Sham begitu, membagikannya dipanggil dari nilai terendah.
Aku sangat khawatir. Bagaimana dengan nilaiku? Biasanya aku sering dipanggil di bagian awal-awal.
"Anin." Pak Sham mulai memanggil. Nama itu memang selalu dipanggil pertama. Dia siswi yang dicap sebagai berandalan. Entah sejak kapan aku juga tidak tahu. Mungkin karena dia sering bolos, tidak mengerjakan tugas, berkelahi, dan merokok. Padahal dia seorang siswi. Yang kulihat darinya seperti tidak punya semangat. Orangnya juga dingin, hanya akrab dengan dua orang. Loly dan Tira. Mereka bertiga terlihat semacam geng.
Setelah Anin mengambil ulangannya wali kelas kami lanjut memanggil.
"Rando!"
"Deni!"
"Jingga!"
Akh, namaku disebut begitu cepat. Aku maju mengambil kertasnya dan saat kulihat sungguh mengecewakan sekali.
Setelah itu aku tidak lagi menyimak nama-nama yang dipanggil. Aku hanya menatap kertasku prihatin.
Manda memanggilku, dia menanyai skor nilaiku, dan aku menunjukkan dengan malas.
"Ssst ... Jingga, kamu dapat berapa?" bisik Manda—dia langsung melihat kertas di tanganku.
"Pffftt..tiga puluh, syukurlah, setidaknya punyaku jauh lebih lumayan." Manda tertawa pelan.
"Hm. Emangnya kamu dapat berapa?" tanyaku penasaran.
"Empat puluh," jawab Manda enteng, dengan bangga.
Heh? Si Manda ini, dengan nilai yang tidak jauh berbeda sudah bangga sekali. Manda memang seperti itu, bukan Manda namanya kalau tidak begitu. Dan aku, sudah maklum dengannya.
"Yah, Manda, kenapa nilai ulangan bahasa inggrisku selalu buruk."
"Hei, bukan hanya bahasa inggris doang, tapi semua mata pelajaran itu nilaimu buruk semua." Blak-blakan sekali si Manda ini, bukannya menyenangkanku malah membuatku semakin kesal. Huh!
Kalau aku tidak belajar lagi maka nilaiku akan semakin buruk, bisa-bisa aku dikeluarkan dari sekolah. Ayah Ibu pasti marah. Impian mereka kan aku masuk Universitas ternama.
Aku menoleh pada Janu. Dia mendapat nilai tertinggi. Sempurna. Seratus. Janu memang brilian, dia belajar dengan keras.
"Ketua, boleh aku meminjam catat-" Belum selesai bicara Zelin memotong dengan niatan yang sama pula.
"Janu, aku mau pinjam catatanmu." Dia berdiri dekat Janu, karena meja mereka bersebelahan. Zelin melirikku sekilas.
"Oh, silahkan." Janu memberi catatannya pada Zelin. Gadis itu merasa puas sambil melirikku, dia merangkul Janu singkat dan berucap terimakasih.
"Terimakasih pacarku, kamu memang terbaik."