Februari 2007.
Terbirit-birit Dia, seorang anak laki-laki berbadan cukup berisi, Aditya Mardian, lari dari anak-anak sekolah berandal yang tiba-tiba menyergapnya sebegitu Dia keluar dari sebuah kompleks perumahan. Kaget bukan main apa yang dia duga ternyata benar adanya. Adit sampai bertanya-tanya bagaimana jadinya tahun 2007 ini akan Ia lalui.
“Mana uangmu?”, terdengar teriakan, “Berhenti!! Woy cepat kejar.”, dari jarak yang masih terlihat cukup jelas terdengar teriakan satu anak jangkung berkulit gelap mengkilat seperti minyak goreng di warung ayam pinggir jalan Pasar Layar.
Anak-anak ini sungguh tak bisa ditoleransi lagi kelakuannya, kadang mereka memaksa minta uang, dan tak jarang minta jajanan tanpa membayar. Adit pikir mereka sudah jera setelah beberapa bulan lalu kepala mereka satu-persatu kena hantam dengan kotak kue. Puas rasanya. Mungkin saja itu gelaja ringan amnesia karena mereka lupa dengan siapa mereka sebenarnya sedang berhadapan.
“Awas kau ya!”, teriaknya setelah dirasa cukup jauh dari anak-anak tadi sambil lari secepat kuda pacuan menjauh dari trek balap yang sebenarnya.
Adit mulai bisa menjaga jarak antara dia dan anak-anak ini, namun mereka masih saja mengejar. Beruntung dia bisa menyelinap ke arah belakang bengkel Bang Topik mengelabuhi anak-anak tadi.
“PRRRAANNGGG!!”, suara plat motor berkarat jatuh dari senderannya di dinding menggelinding berputar-putar hingga akhirnya terdiam di atas tanah becek bekas hujan kemarin malam.
“Maaf Bang….”, teriak Adit ke Bang Topik sambil berlari Adit semakin menjauh, secepat kijang jantan sehat yang berkali-kali lepas dari terkaman sekumpulan macan tutul.
Anak-anak yang sering mengganggu di jalan ini mungkin juga seumuran dengan Adit atau hanya lebih kecil sedikit saja. Tapi kelakuannya benar-benar bikin sakit kepala, kata-kata mereka kasar dan juga sering terlihat merokok sembunyi-sembuyi jauh dari keramaian, takut terlihat oleh orang tuanya. Mereka ini belagak anak baik-baik di rumah tapi berandal bukan main begitu menghirup udara luar. Rasa-rasanya mereka masih menghirup oksigen yang sama dengan yang ada di dalam rumah mereka.
Bukan Adit tidak bernyali untuk melawan hadangan anak-anak ini, bisa saja dihadapi satu-persatu. Tapi Adit sudah tak mahu lagi berurusan dengan orang tua mereka yang juga tidak kalah menyebalkan; memang buah jatuh tidak jauh dari pohon itu benar adanya.
Ayahnya pernah dihampiri oleh orang tua anak-anak ini, marah-marah mereka, minta biaya berobatlah, belagak paling pintar mengajarkan Mardi, Ayah Adit, supaya lebih tegas mengurus anak. Lantaran kejadian tempo hari sewaktu Adit layangkan keras-keras kotak kue ke kepala mereka. Nangis tersedu-sedu mereka pulang seperti baru saja gagal lulus Ujian Akhir Nasional. Anak-anak cengeng begini bagaimana mungkin jadi berandal. “Sok jago!”.
Dengan kelakuan macam begitu, tak pantas mereka pulang bak anak ayam mengadu ke induknya. Pantas saja mereka tak pernah berhenti karena tahu ada yang membela. “Apa orang tua selalu begitu? Membela buah hati mereka meski salah sekalipun?”. Geram sekali. Sungguh kalau bukan memikirkan Ayahnya, sudah dilawannya saja mereka biar bisa ingat kembali kejadian beberapa bulan lalu. Tidak sanggup dia melihat Ayahnya harus meminta maaf untuk kesalahan yang rasanya adalah kesalahan anak-anak mereka sendiri. Laki-laki paruh baya itu sepertinya tak punya keinginan untuk ribut-ribut dengan orang lain dan ingin masalah anak laki-lakinya segera selesai.
~~~