Awan Tanpa Rupa

ANCALASENJA
Chapter #3

Godok Bagulo

Tak banyak anak seusianya yang rela kehilangan waktu-waktu emasnya menikmati masa muda yang tak kan pernah terulang kembali. Adit pun sama seperti itu, setidaknya dulu sekali. Dia sempat ragu untuk memulai bisnis kecil-kecilan yang Ia tekuni bersama Ayu.

Ayu terbilang sosok anak muda yang sangat aktif di sekolah, tegas, dan berambisi tinggi. Sangat wajar sekali jika menapaki tangga paling atas sebagai siswa berprestasi di SMU Negeri 3 Kota Pasarbaru sudah masuk dalam tujuan yang ingin dia capai sejak awal kali menginjakkan kaki di gerbang utama sekolah itu. Suatu signifikansi pembeda Ayu dengan Adiknya.

Lokasi Ia bersekolah hanya berseberangan dengan sekolah adiknya, Adit, yang sudahlah sangat wajar jika anak-anak dari SMP Adit berasal sudah barang tentu akan melanjutkan pendidikan mereka disana. Bak seperti linimasa yang bisa diprediksi siapapun yang berasal dari SMP itu.

Semua bisnis kecil-kecilan ini bermula dari gagasan teman sekelas Ayu saat mereka dalam masa persiapan festival sekolah yang digelar tiap tahunnya. Di waktu saat Ia adalah siswa tahun pertama di SMU itu.

Masa persiapan festival menjadi periode paling sibuk untuk pengurus acara dan sesiapapun yang ingin muncul di permukaan sebagai siswa yang aktif serta terbilang berhasil membuat gebrakan paling dikenang sepanjang masa oleh siswa-siswa lain yang terkagum akan suguhan mereka.

Lantas, Ayu tentu saja tak bisa melewatkan kesempatan emas yang membuka pintu lebar untuknya. Ini bisa jadi jalan paling mudah untuk dirinya memulai kiprahnya di sekolah. Paling tidak jalan paling singkat yaitu dengan masuk via jalur open recruitment pengurus festival sekolah.

Ayu membujuk teman sekelasnya, Sarah, untuk bersama -sama mendaftar di open recruitment. Alasannya sederhana, kalau-kalau di kepengurusan sulit untuk menyuarakan pendapat atau mendapatkan tanggung jawab yang susah dikerjakan sendirian, paling tidak ada orang yang rela untuk direpoti. Dan itu adalah sahabatnya sendiri, Sarah.

Sarah pada dasarnya tak berminat untuk bergabung, tapi tak kuasa menolak permintaan dari sahabatnya yang jarang sekali meminta pertolongannya. Tak bisa bilang tidak, Ayu terlalu banyak berjasa untuk menuntunnya di kelas Bahasa Inggris, meski baru saja dimulainya awal tahun ajaran. Mungkin itu sudah waktunya bagi Sarah membalas budi.

Ayu dan Sarah berhasil diterima masuk ke kepanitiaan festival sekolah, masuk ke dalam Divisi Pengembangan Usaha. Tugas spesifiknya adalah untuk memastikan setiap booth dan tenda yang tersedia bisa maksimal untuk menghasilkan pemasukan keuangan yang cukup mengcover biaya pengeluaran di festival secara keseluruhan. 

Ayu dan Sarah, di bawah arahan Kak Miranda beserta tim Divisi Pengembangan Usaha berhasil mendapatkan sponsor yang bersedia mengisi booth makanan, minuman, pakaian, dan berbagai produk olahan lokal lainnya dengan kerja sama sedemikian rupa. Mereka juga memastikan masing-masing kelas mengirimkan wakil dari kelasnya untuk mengisi booth, demi mendorong semangat berwirausaha sejak remaja.

“Bagaimana? Di kelas kita sendiri masih belum ada yang mengajukan diri untuk handle booth kelas. Deadline pengajuannya tinggal 3 Hari lagi. Tadi aku udah konsultasi ke anak-anak, tapi nggak ada yang mau. Gimana dong? Aku takut dimarahi Kak Miranda. Masa kelas pengurus kegiatan ini malah kosong?”, Sarah panik bukan main, membayangkan dirinya dicecar banyak pertanyaan oleh Miranda, kakak kelas terbawel yang pernah dia temukan sepanjang hayatnya. Tak sanggup Ia harus bersitegang dengan Miranda. Lebih baik memperbaiki suatu hal yang dianggapnya salah sebelum bikin masalah yang lebih besar.

“Tenang-tenang”, balas Ayu menenangkan sahabatnya yang panik bukan kepalang untuk hampir semua hal. Seperti mau lahiran saja. Ayu sudah cukup terbiasa menghadapi tingkah sahabatnya ini. “Kepala kita harus dingin, bukan perkara besar”. Ayu kelewat santai, hal-hal semacam ini bukan masalah besar untuknya. 

“Besar Ayu! Besar banget. Sebesar ini!”, sambil menunjukkan betapa besarnya godok bagulo, makanan yang terbuat dari singkong yang diparut hingga halus dan digoreng dengan minyak panas, lalu dibalur dengan gula yang dicairkan yang terkristalisasi di sisi luar panganan itu. Terbujur lemas cemilan itu di dalam etalase depan kantin sekolahnya, gula-gulanya mulai mencair tak kuasa melawan kemarau panjang.

“Eh? Aku ada ide!”, sambar Ayu tiba-tiba. “Kamu tau, benda apa yang paling cepat habis dan paling laris di sekolah ini?”. Untuk perempuan, jarang sekali yang pakai kata ganti ‘kau’ seperti pada umumnya, mereka lebih nyaman menyapa dengan kata ganti ‘kamu’, terkesan lebih sopan.

“Apa aja kayanya selalu habis deh.”, balas Sarah cepat tidak punya ide spesifik tentang jawabannya untuk Ayu. Malas untuk berpikir lebih jauh.

“Bukan, yang paling cepat habis itu cemilan, Sar.”, balas Ayu cukup Sabar menghadapi Sarah karena sudah terbiasa menghadapi yang ngeyelnya lebih-lebih lagi dari Sarah, yaitu adiknya sendiri, Adit.

“Kue atau jajanan gitu? Semacam godok bagulo ini? Ini aja belum habis masih sisa satu.”, ngeyel lagi.

“Ini habis kok.”, jawab Ayu sambil mengambil cemilan itu melahapnya di depan Sarah yang hanya bisa terbelalak melihat kelakuan sahabatnya. Lalu dia berhenti mengunyah dan melanjutkan diskusi mereka, “kita bisa ajukan anak-anak untuk jual produk cemilan rumahan, Sar. Siapapun di kelas mereka bisa minta orang tua mereka bikin dan dibawa di hari festival itu. Kita pakai tema ‘Dari Keluarga untuk Ananda’, bagaimana menurutmu, Sar?”.

“Bagus-bagus. Idenya sederhana, aku suka. Nanti Aku yang kompor-kompori anak-anak ya!”, balas Sarah sangat antusias.

“Aku serahkan ke kamu ya Sar!”.

“OK! Nanti kamu juga ikutan ya! Kamu masak sendiri aja, Aku tahu kamu sering masak di rumah kan. Lumayan banget untuk tambahan uang jajan. Nanti Aku janji bantuin. Kita berdua mungkin nggak terlalu sibuk untuk urus booth lagi di hari kegiatan itu”, ide ini terlintas begitu saja di kepala Sarah.

“Iya…”, jawab Ayu, “…sepertinya menarik juga. Nanti Aku pikirkan ya mau jual jajanan apa di festival”.

~~~

Lihat selengkapnya