Awan Tanpa Rupa

ANCALASENJA
Chapter #4

Cerah Biru Hari Rabu

Seperti terasa pasir di pelupuk mata. Di luar masih cukup gelap, pukul setengah lima pagi Adit bangun dari tidurnya, berjalan sempoyongan dengan mata setengah terbuka menuju kamar mandi yang remang.

Diraihnya gayung dari dalam ember besar di kamar mandinya seraya memutar bagian penampung air menyeruk sebanyak air yang dia bisa. Satu tangannya memegang gayung, sementara tangan yang lainnya bersiap menyapu air dengan cepat untuk diusapkan di wajahnya. Dingin. Pori-pori di wajahnya terkejut, bereaksi seketika, terbangun bersama kesadarannya pagi itu, bersamaan dengan pasir-pasir yang mendadak hilang dari balik kelopak matanya.

Adit keluar dari kamar mandi melihat ke sebelah kanan arah dapur, tak dia temukan kakaknya, Ayu, berada di antara meja kompor dan rak-rak piring di tempat dimana dia berada pada hari-hari Rabu biasanya.

Tak biasanya dia melihat satu bungkus tepung masih terikat rapih di dalam plastik di atas meja dapur, dan sayuran yang masih utuh di dalam kulkas.

“Kak?”, panggilnya di depan pintu kamar Ayu sembari memastikan kalau Kak Ayu yang mungkin saja terlambat bangun, memastikannya sudah bersiap.

Beberapa kali dia ketuk pelan-pelan pintu kamar kakaknya, tapi masih tanpa balas. 

Adit mendengar suara batuk serak, pelan sekali, dari dalam kamar dan refleks saja bertanya sekali lagi, “Kakak udah bangun?”.

“Ya dit…”, Adit dengar suara Kak Ayu dari dalam, sedikit parau dan disusul dengan batuk-batuk lainnya. “kakak kurang enak badan, hari ini Kakak nggak jualan dulu ya. Adit istirahat lagi aja kalau udah shalat.”, lanjut Ayu dari dalam kamar.

Kakanya tiba-tiba nggak enak badan, khawatir kalau ada hubungannya dengan ceritanya kemarin malam saat Ayu melihat kotak Kuenya masih penuh bahkan tak sampai setengahnya terjual. “Apa benar separah itu?”, pikirnya.

“Iya kak, Adit buatkan teh hangat ya.”, Adit kembali ke arah dapur menyiapkan teh hangat untuk Ayu. Teh hangat seperti sudah menjadi simbol tanda hangatnya perhatian di banyak keluarga.

Adit tahu kalau dia tidak harus berjualan, karena sepertinya mencoba-coba berjualan di tempat lain mungkin tidak seprospektif berjualan ke pelanggan setianya di Villa Lestari. Dia bahkan masih tidak percaya Ibu-Ibuk disana benar membuat komentar semacam itu.

Beberapa waktu berselang, Adit sudah bersiap untuk segera berangkat ke sekolah, Dia memastikan surat permohonan izin sakit untuk Kak Ayu ada di dalam tas, tidak terlipat oleh tumpukan buku yang semrawut di dalam tasnya. Memastikan pulpen yang berserakan di dalam tasnya tertutup rapat dan tidak punya alasan untuk mencoret dengan lihai amplop putih bersih dengan garis-garis biru merah saling bergantian berjejer di setiap sisi amplop itu.

“Nanti titip saja ke satpam sekolah kakak, bilang saja kelas 3 A ya”.

“Ya. Adit berangkat kak, Assalamualaikum”. Adit pergi begitu saja bahkan tak menghiraukan apakah kakaknya menjawab salam atau tidak. Tanpa disadari Dia pun lupa untuk mengingatkan Kak Ayu agar berkunjung ke klinik.

~~~

Passing bolanya!”, teriak anak-anak dari pinggir lapangan, bergaya mereka semua pelatih dari tim sepak bola sekolah yang sedang bertanding. Padahal jika dipikir-pikir, mereka yang di pinggir lapangan ini cuma pentonton dan sudah dipastikan tidak lebih jago dari sebelas orang terpilih yang ada di tim utama. Entah kenapa selalu saja yang tidak lebih baik punya omongan lebih besar. 

Adit tidak tahu menahu soal tim sepak bola sekolahnya. Kalau bukan karena salah seorang sahabatnya, Rendy Anugrah Wibawa, yang bergabung bersama 23 siswa lainnya di tim utama sepak bola mengajaknya untuk menonton. 

Rendy adalah sosok Ricardo Kaka dos Santos Liete-nya sekolah Adit yang jadi pujaan siswi-siswi karena wajahnya lebih pantas main di serial TV daripada harus panas-panasan di tengah lapangan berdebu.

Tahun 2007, Ricardo Kaka digadang-gadang memenangkan Ballon d’Or, anugerah pemain sepakbola terbaik di dunia. 

Adit tahu banyak tentang Kaka berkat Rendy dan ke-pede-annya menerima dengan senang hati —tentu saja— saat dirinya disama-samakan dengan Kaka. Kepedeannya ini sudah melambung tinggi lebih jauh tinggi dari sepakan bolanya saat bertanding. Tendangannya sangat biasa saja, jadi pantas saja dia selalu dicadangkan duduk manis di bench. Paling tidak dia lebih baik dari ratusan anak lainnya di sekolahnya.

Tak biasanya Rendy mengundangnya untuk menonton pertandingan.

“Kau nanti ikut Aku ya, nontonlah Bang Rendy sekali-sekali main bola”, Rendy menyebut dirinya sendiri dengan ‘Bang’, sudah terbiasa karena itu adalah pola yang sama saat dia mendekati siswi-siswi di sekolah. Tersipu malu mereka tiap Rendy bertingkah seperti itu. Bahagia bukan kepalang seperti anak-anak balita yang duduk di atas odong-odong lengkap dengan lagu dangdut remix yang diputar bersamaan putaran kayuhan kaki abang penarik odong-odong dan ingin semua itu berlangsung lebih lama dari semestinya.

Malas-malasan Adit membalas ajakannya. “Ndak cukup rupanya fans kau sebanyak itu?”, ketus Adit yang tahu siswi-siswi yang berdiri di luar garis batas lapangan ini malu-malu memperhatikan dan membicarakan Rendy. Dan mungkin saja sebagian besar dari mereka tak tahu sama sekali tentang sepak bola.

Rendy adalah cerminan duta sepak bola di SMP Negeri 7 kota Pasarbaru, memperkenalkan sepak bola ke orang-orang yang tidak punya ketertarikan apapun soal sepak bola. Dari yang tidak tahu sama sekali hingga jadi percaya diri untuk teriak “Offside offside!” di pinggir lapangan kala pemain depan tim lawan sudah mulai masuk dan terbebas dari penjagaan pemain belakang tim sekolah mereka. Entah bagaimanapun offside itu semestinya diatur, selama itu bisa menguntungkan tim sendiri, mereka bisa saja menafsirkan offside dalam kamus pribadi mereka masing-masing.

“GOOOLLLL!!! 0-1 LUARRR BIASAAA!!”, tim lawan berhasil mencetak gol di menit 18 babak pertama lewat tandukan striker nomor sebelas yang berlari tak tentu arah sebelum rekannya menyepak si kulit bundar lewat tendangan sudut. Tim sekolah Adit ketinggalan satu goal.

“Tak main lagi kau?”, tanya Adit. Di lapangan ini tempat duduk pemain pengganti tak ada bedanya dengan tempat supporter berdiri untuk menonton. Hanya aja bangku kayu panjang untuk duduk dan beberapa tas yang serampangan diletakkan begitu saja di rerumputan.

Supersub mainnya belakangan.”, merujuk pada dirinya, Rendy menjelaskan dia pemain kunci yang akan mengubah kondisi di lapangan nanti saat di paruh terakhir pertandingan. Adit hanya mengangguk-angguk, mengganggap itu hanya angin lalu, dan melangkah sedikit dari posisi dia berdiri barusan.

“Nomor 9 membawa bola, gocek satu… dua… tiga… melewati pemain belakang tim tuan rumah!”, seru komentator pertandingan suaranya kencang dengan speaker yang mendengking tajam menusuk gendang telinga, “… dan gol sodara-sodara!”. 

Tim Rendy kemasukan gol lagi di menit 36 babak pertama, hanya menjelang beberapa menit menujuk pergantian babak pertama.

Adit sepertinya tak terlalu menikmati tontonannya siang itu, saat semua siswa sekolahnya mulai komentar mencari-cari siapa yang salah di dalam tim mereka yang sudah tertinggal 2-0.

Adit teringat akan Kak Ayu yang ditinggalkannya berangkat ke sekolah pagi tadi. Hanya berdoa dalam hatinya untuk kesembuhan kakak satu-satunya itu.

Terlihat di sudut lapangan, Rendy, mulai melakukan pemanasan, menekuk-nekuk kakinya menjamin semua sendinya bekerja dengan normal, melemaskan otot-ototnya yang kaku setelah hampir 45 menit duduk di bangku cadangan. Terdengar samar-samar gadis-gadis yang berkelompok-kelompok tiga-lima orang menyebut nama Rendy mengingatkan teman seperkumpulannya sang Ricardo Kaka akan segera turun ke lapangan yang gundul bagian tengahnya tanpa ditumbuhi rerumputan.

Adit berdiri bersama teman-teman satu kelasnya di pinggir lapangan, menanti babak kedua pertandingan dimulai. Ada yang makan siomay langsung dari plastiknya, ada yang duduk di rerumputan sambil ngobrol seru terbahak-bahak, dan ada yang mulai bosan ingin segera pulang, yaitu dirinya sendiri. Di saat-saat seperti ini bertemu sahabatnya yang lain dan diajakin singgah di rumahnya adalah escape route paling menarik untuk Adit. Karena mungkin sahabatnya itu tidak punya ketertarikan yang terlalu tinggi terhadap sepak bola.

Adit menengadahkan kepala ke langit, melihat sekilas awan-awan tipis saling bersambut tepat di atas lapangan pertandingan, seakan saling tarik menarik ingin beradu kekompakan dengan anak-anak yang tadi berlarian penuh keringat. Mereka membentuk gumpalan kecil-kecil menggulung bak ombak dengan riak tanpa mengeluarkan suara, menyegarkan mata, serta ingin memberikan perlindungan dari sesiapapun yang berdiri tepat di bawahnya.

Babak kedua pertandingan pun dimulai. Rendy masuk menggantikan rekan satu timnya, gagah berdiri di tengah lapangan dengan nomor punggung 20 kebanggaannya. Rendy terlihat percaya diri saat itu —Dia terlihat percaya diri untuk apapun—

Lihat selengkapnya