Awan Tanpa Rupa

ANCALASENJA
Chapter #5

Binar Merah Muda

“Charles, Aku mau tanya sesuatu sama Kau. Ini soal masa depan bisnisku, kawan!”, Adit, sedikit berlebihan memang, duduk menghadap ke belakang kursinya, menyandarkan tangannya terlipat di atas senderan punggung kursi sekolah. Sahabatnya itu menengadah ke atas, dia tatap Adit dari balik kacamata kotaknya.

“Eh, kenapa Kau rupanya?”, jawab Charles yang seperti sudah jadi kebiasaan menggunakan kata ‘rupanya’ di akhir kalimat alih-alih tak menggunakannya. Penekanan pada setiap kalimatnya terdengar sangat penting untuk menujukkan dengan siapa seseorang berbicara.

Charles adalah sahabat Adit lainnya, juara kelas meski tak belajar sekalipun dia tetap bisa paling tidak mempertahankan nilai rata-rata 80 dari 100. Orang-orang seperti dia ini sepertinya selalu ada satu di setiap sekolah. Entah mereka-mereka diutus organisasi apa untuk mengayomi dan jadi panutan siswa satu sekolahan. Charles adalah sahabat Adit dan Rendy, anak dari guru mereka di sekolah, Buk Florens, yang terkenal luar biasa killer di sekolah. Adit memang pandai mencari teman, mengamankan diri dari terkaman Buk Florens, yang jadinya baik luar biasa padanya. Ke Charles lah Ia biasanya dia bisa merasakan main PlayStation sesekali sepulang berjualan.

“Begini kawan… Aku sekarang udah nggak bisa jualan di sekitar rumah kau. Pusing aku jualanku jarang habis kalau nggak mampir di komplek perumahanmu.”, katanya mengadu pada Charles seakan dia ketua RT disana. Padahal ya jelas-jelas bukan.

“Eh, yang benar kau? Sudah kau tanya Mamak aku?”, Mamak katanya bukan Mama, bukan Bunda, bukan pula Ibu. Mamak. Anak komplek Villa Lestari tidak memanggil Ibunya dengan kata Mama atau Mami? Batin Adit saat pertama kali Ia kenal Charles.

“Belum lah, aku main ke rumah kau aja jadi ragu-ragu. Ini makanya aku mau minta tolong ke Kau. Kata satpam disana orang-orang tak suka lihat aku jualan disana, tukang bikin sampah berserakan katanya.”, dia mencoba menjelaskan duduk persoalan saat Ia bertemu satpam komplek perumahannya. “Bisa nanti kau tolong tanyakan ke Mamak kau, Char?”, pinta Adit ke Charles. Satu-satunya harapan Adit untuk mencari tahu kebenaran kabar itu.

“Aman kawan, nanti Aku tanyakan sepulang sekolah. Atau kau ikut Aku aja ke rumah. Nanti kau tanya sendiri sama Mamak aku. Biar kau tak perlu ditanya satpam depan situ pas kau masuk ke kompleks”.

Adit mengiyakan ajakan Charles untuk pulang bersamanya ke Villa Lestari. Hari ini, hari penantiannya untuk membongkar hal yang merugikan bisnisnya. 

Tiba-tiba.

“Woy woy, Ada apa? Ada apa ini? Aku tungguin tadi di depan kenapa belum nongol juga kalian?”, Rendy datang dari depan kelas berdiri di hadapan mereka berdua, masih terpincang-pincang membawa tongkat untuk membantunya berjalan, belum pulih total dari cidera tempo hari. “Ayo ke kantin makan siang dulu. Hari ini Bang Rendy yang bayar. hahahaha”.

“Asik!!!”, serempak mereka menjawab, “Bahagia kali kau ini nampaknya? Sudah baikan kaki kau Ren?”, Charles menanyakan dua pertanyaan sekaligus tak ingin rasa penasarannya dilewatkan begitu saja.

“Sudah-sudah. Tak kau lihat aku bisa jalan nih?”, dia meragakan untuk tidak menggunakan tongkatnya berjalan. “Aduh duh… sakit”, tapi ternyata masih tetap meringis kesakitan.

“Kurang-kurangi lah gaya kau itu Ren.”

“Ayo buruan. Aku mau cerita nanti sambil makan. Penting ini kalian harus tau. hahaha”.

~~~

“Char, kau lihat itu disana, kananmu.”, kata Rendy tak memperdulikan semangkuk soto di hadapannya, kerupuk merah yang dituangkan di atasnya mulai layu. Menunjuk arah sisi kanan Charles di kejauhan. “Arah jam 3, Char!”.

“Apa?”, ujar Charles. Tak tau Arah obrolan mereka akan kemana.

“Ah, kau! Itu arah jam 3, kau jangan langsung noleh. Pelan-pelan aja jangan ketahuan kali kau ngeliat orangnya. Ndak pro, kau Char!”, kesal Rendy karena Charles tidak cukup peka. Charles tak profesional. “Rambut panjang Char! Jepit rambut merah muda”, bisiknya. Matanya berbinar kala menyebut orang yang ada di seberang sana, hanya bisa dilihat dari jauh tanpa menyapa.

“Oh cewek, rupanya. hahaha. Mana kutau. Kupikir kau udah bosan pulak. Itu aja bahasanmu dari dulu. Iya Dit?”, Charles mencari dukungan dari Adit untuk statementnya barusan.

Ndeh…”, adalah rasa kekecewaan dengan hembusan nafas berat yang disampaikan seseorang yang sudah malas untuk menjelaskan. Sangat umum digunakan disini. Biasa digunakan untuk menunjukkan puncak rasa kesal atau malas menghadapi apapun, ya orang ataupun kejadian. Tapi Rendy tak menyerah untuk bercerita.

“Oh, Dinda maksudnya Ren?”, Adit alih-alih tak peduli ternyata ikut membahas perbicangan Rendy barusan. Rendy menemukan secercah cahaya bak bintang jatuh di siang hari, kalaupun ada tak ada yang bisa melihat itu sebenarnya. Dia bahagia karena satu dari sahabatnya menggubris topiknya siang itu. Itu sudah cukup untuknya untuk merasa tidak sia-sia mentraktir mereka makan siang.

“HAHAHA. Iya bro!”, bahagia Rendy pecah melihat Adit punya ketertarikan untuk membahas itu. Sesederhana itu ya. Rendy pun bercerita awal pertemuannya dengan Dinda dan Utari di hadapan Charles. Panjang lebar detail sekali. Charles sampai terkantuk-kantuk, beberapa kali memperbaiki posisi kacamatanya yang nempel di hidungnya yang basah akan keringat.

“Jadi, setelah awal pertemuan Aku dan Dinda sewaktu itu. Aku telepon Bundanya, jadi dekat Aku bro. Udah dapat restu calon mertua kurasa aku ini. HAHAHA”, ujar Rendy tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya. Meletup-letup. Tak biasanya dia yang terkenal dekat sama banyak siswi bisa seperti pertama kali jatuh hati. 

“Udah gila kau memang ya, Ren!”, serobot Charles di antara tawa bahagia Rendy yang meletup-letup.

“Hahaha. Iya pun kurasa agak gak normal isi kepalamu ya.”, sambung Adit setuju. “Terus habis ini gimana rencanamu?”.

Lihat selengkapnya