Sudah lebih dari seminggu Adit tidak berjualan di Villa Lestari, jelas saja penghasilan dari usahanya berkurang drastis. Dia mulai mengurangi kue dagangannya untuk dibawa berkeliling. Adit lebih sering membantu Ayu untuk menjemput sisa kue di Pasar Layar yang biasa Ayu titipkan ke pedangang disana. Cukup untuk menjadi tambahan biaya hidup mereka berdua. Ayahnya masih rutin mengirimkan uang untuk biaya mereka bedua, hanya saja Ayu paham betul biaya hidup untuk dua dapur sekaligus tentu cukup berat.
Adit tahu pasti, jika bertahan menunggu hasil dari dagangan Kakaknya saja tentu tidak baik untuknya. Tapi dia tak tau pasti harus mulai dari mana. Kadang ada pikiran buruk menghampirinya, berandai-andai kalau saja begini, kalau saja begitu, hidupnya mungkin sama seperti anak-anak dengan usianya. Seperti Charles yang bisa melihat duniat jauh ke depan hanya dari dalam kamarnya, seperti Rendy yang merasakan manisnya asmara masa muda, atau seperti teman-temannya yang lain.
“Astaghfirullah…”, matanya menatap langit yang mulai mendung dengan gumpalan awan pekat. Di teras rumahnya Ia berbaring memikirkan langkah yang harus Ia ambil mulai esok hari. Sejauh dia berpikir, sejauh itu pula Ia melihat hidupnya akan begini-begini saja. Tak paham konsep bagaimana nasib itu seharusnya Ia rubah dengan usahanya sendiri.
Adit mengangkat jemuran pakaian di belakang rumahnya, menumpuk pakaian-pakaian kering tadi di depan teras, memastikan tidak ada yang kotor karena debu dan pasir.
Belakangan Adit mulai terganggu dengan keluh kesahnya sendiri. Dan, saat itu pula dia mendapat kesempatan berbincang dengan Ayu saat mereka berdua sudah di rumah.
“Kak…”, Adit memulai percapannya sore mendung yang sudah dimulai dengan gerimis hari itu. “Adit ngerasa akhir-akhir ini selalu kurang hasil penjualan semenjak tidak dagang di Villa Lestari”.
“Iya, kakak ngerti kok. Adit nggak apa-apa?”.
“Di komplek sekarang sudah ada yang jualan juga, ibu-ibuk. Jadi Adit mutusin untuk bantu kakak antar jemput kue di Pasar Layar aja ya, Kak?”, pintanya pada kakaknya. “Adit mungkin nggak jualan keliling lagi, mungkin sudah rezki ibuk itu untuk jualan disana…”. Adit merasa dia tak perlu memaksakan diri untuk bersaing, karena mungkin ada orang lain yang lebih membutuhkan, bisa saja ibu itu punya anak banyak, atau suami tidak bekerja, atau apapun lah itu yang tak seberuntung dia. Kakak dan Ayahnya masih bisa memberikan dia yang dia butuhkan, tak banyak tapi mungkin cukup.
Di satu sisi Ia ingin hidupnya lebih baik, di satu sisi Ia mengalah, dan di waktu yang sama Ia memikirkan keadaan orang lain. Pun dia tak yakin apa yang dia lakukan mungkin hanya untuk sebatas bisa bertahan hidup sebulan dua bulan ke depan.
“Kakak nggak apa-apa kok, Dit. Adit nggak perlu kecewa gitu”. Ayu berusaha membesarkan hati Adit, dia paham dengan rasa dan kekhawatiran yang Adit utarakan barusan.
Ayu teringat akan kemungkinan bagi Adit butuh pelarian dari rutinitasnya. Untuk tidak melulu soal sekolah dan jualan.
“Dulu sebelum Adit jualan, Adit sempat latihan di klub olahraga sekolah kan? Mungkin Adit bisa tanya-tanya ke guru atau pengurusnya supaya Adit bisa aktif lagi disana?”.
Adit memang pernah bergabung di tim olahraga atletik di sekolah, tapi memang tak terlalu serius untuk itu. Dia pernah masuk ke peringkat 4 kejuaraan lari 100 meter di sekolahnya. Dia terhenti di tingkat seleksi sekolah di awal tahun pertamanya.
Setelah itu Adit tak pernah lagi mencobanya, rutinitasnya penuh dengan sekolah dan jualan. Niatnya terkesan setengah-setengah, dan itu termasuk niatnya belajar di sekolah. Namun tidak pada jualan. Keinginannya keras, tapi keinginnya untuk mengalah ternyata lebih besar kali ini.
~~~
“Adit, kenapa kutengok kau tak pernah bawa kue lagi?”, tanya Badar si penjaga sekolah yang tumben-tumbenan saja menyapa pagi itu. Merusak mood saja. “Sudah tak jualan lagi kau ya?”, lanjut Badar yang siap untuk mulai memporak-porandakan hari-hari Adit dengan celotehannya. Malang nian nasibnya.
Belum sempat lagi Adit membalas celotehan paginya. Badar terus saja berceloteh di hadapan Adit. Ingin rasanya Ia pergi segera dari sana, menyeret-nyeret kakinya untuk menjauh, takut cipratan air liurnya mengenai wajahnya.
“Nah! Sudah kubilang susah itu jualan keliling. Bagus lagi buka warung tinggal tunggu pelanggan saja”.
Pria tua Rambut putih hampir sempurna ini seperti tak mengerti konsep perbedaan berjualan di kantin sekolah dan di dunia luar sana meski sudah puluhan tahun berdagang makanan. Seperti tak tahu saja berjualan di kantin pasti punya pelanggan yang tak punya pilihan lain untuk makan siang dimana. Ditambah lagi dengan program monopoli bisnisnya tak membiarkan pedangang kaki lima lainnya berdiam diri di depan pagar sekolah. Adit tak menyangka persaingan bisnis kecil-kecilan saja bisa sekompetitif ini.
Panjang lebar Badar bercerita, telinganya mulai panas, perutnya mulai tidak enak. Rasanya ingin segara lari ke toilet saat itu juga. Charles, Rendy, dan siapapun sungguh siapapun saja asalkan bukan Badar yang menyapa, pinta Adit dalam hati.
“Tak masuk kelas kau disini saja?”, sambut Badar di ujung ceritanya.
“Alhamdulillah…”, Badar cukup tahu diri karena 10 menit lagi bel masuk sekolah dibunyikan. “Iya, Pak. Ini dari tadi udah mau ke kelas”. Lari Adit sesegera mungkin dari sana sebelum penjaga sekolahnya itu berubah pikiran.
Berlari Adit di lorong menuju kelasnya, bak anak-anak lainnya hanya figuran saja. Ingin sekali melepaskan bayang-bayang Badar dan cipratan air liurnya yang mengenai tangan.