Hujan terus turun menyapu Kota Pasarbaru tak berkesudahan. Orang-orang yang tinggal di tepian sungai mulai khawatir akan air luapan banjir menggenangi rumah-rumah mereka.
Kekhawatiran Adit tak sama seperti orang-orang itu. Kekhawatirannya ada pada kondisi perekonomian keluarganya setelah Ia tak lagi berjualan. Apakah benar baik-baik saja? Kak Ayu dan Ayah menanggung hidupnya yang terpisah dikarenakan kondisi pekerjaan Ayah.
Adit sadar, Ia tak semestinya berdiam diri. Jika tak ada yang Ia bisa kerjakan saat ini, maka dia sadar betul kalau dia yang harus menciptakan kesempatan untuknya.
Melangkah dari paling ujung lorong menuju kelasnya, Adit melewati banyak kerumunan siswa-siswi yang duduk dan berdiri di depan kelas-kelas mereka.
Di sudut belakang kelas, anak-anak itu bercakap-cakap dengan nada ditekan-tekan dengan sangat intens. Tak banyak yang memperhatikan mereka dari sisi bagian depan kelas. Arah suara itu ada di luar. Tepat di paling sudut. Adit berputar arah, melewati sisi kiri bangunan paling luar, di situ terdapat parkiran sepeda dan motor. Tempat yang cukup sepi dari sesiapapun. Dia lihat Rendy dihadang 3 orang yang sedang menyalak-nyalak, terlihat satu orang yang di tengah berhadapan dengan Rendy, dua anak lainnya berdiri di sisi kanan-kiri mereka. Berdiri tegak pinggang bak paling berkuasa di kondisi itu.
Rendy terpojok di dinding dengan pundak di dorong-dorong. Terhuyung-huyung ringan dia.
Anak yang di tengah, berpostur paling tinggi besar, menunjuk-nunjuk wajahnya.
Sontak Adit lari ke arah mereka, lalu menarik pundak anak yang di tengah ini berbalik menghadapnya. Dia Amir, tingginya hampir sama, sama besarnya, hanya berbeda pada ukuran berat badan saja. Rambut ikalnya tergulung-gulung tidak rapih, seperti ombak di air laut yang tidak biru tidak jernih, tapi kecokelatan, tampak tak menghiraukan hadangan Adit. Dua anak lainnya, Deni dan Joko ada bersamanya. Mereka bertiga cukup disegani di sekolah, terkenal tukang onar dan sering mem-bully teman dan adik kelas mereka.
“Woy! Apa-apaan kalian?!”, Adit setengah membentak anak-anak ini. Mentalnya tak pernah gentar menghadang siapapun, apalagi untuk urusan membela orang lain.
“Heh, kau yang sopan kalau ngomong!”, Amir menghardik balik ucapan Adit.
Adit masuk dari sela-sela Amir dan Deni, lalu berdiri di depan Rendy, membelakanginya, mencoba melindungi sahabatnya. Ketiga anak ini berhadapan muka dengan Adit.
“Dit, udah Dit. Bukan apa-apa”, ucap Rendy ke Adit yang baru saja berdiri membelakanginya. “Kita pergi saja”.
“Mau pergi kemana kau? Urusan kita belum selesai ya. Kau dengar itu?”.
Adit tak takut dengan siapapun di sekolah ini meski pamor mereka terkenal di mana-mana. Selama tidak mengganggunya, Adit mungkin akan diam saja.
Tapi kali ini Adit tidak bisa tinggal diam. Dia harus ikut campur, jiwanya terpanggil untuk ada di masalah yang dihadapi sahabatnya. Nalurinya ingin melindungi orang lain memang sering muncul begitu saja. Bukan sok jagoan, Adit melakukannya untuk membela orang lain. Terbiasa melakukan itu karena sadar dia satu-satunya orang yang bisa kakak perempuannya andalkan saat Ayahnya berada jauh di perkebunan.
“Bukan urusan kau ini, Dit”, Joko meminta Adit baik-baik untuk tak ikut campur di masalah mereka. Dia adalah mantan rekan satu tim altetik sekolah yang pernah berlatih bersama Adit saat tingkat satu di SMP.
“Aku nggak perduli ya masalah kalian apa. Tapi cepat kalian pergi dari sini!”, dengan penuh emosi Adit menatap mata mereka satu persatu. Tak suka diusik, tapi Adit tak sadar dia sendiri yang menceburi dirinya ke kekeruhan ini.
“Kau kalau nggak tau masalahnya ya diam aja”, ucap Amir yang terlihat lebih kokoh daripada dua rekannya. “Kau bilang sama dia ini, Den!”.