Awan Tanpa Rupa

ANCALASENJA
Chapter #8

Layangan

“Adit, dipanggil Bu Nurlela”, Angga sang ketua kelas menyapa Adit dengan undangan pertama yang datang untuknya siang itu.

“Ruang BK?”.

“Iyalah, kemana lagi. Kau ada masalah apa rupanya?”, tanya Angga penuh penasaran.

“Oh, enggak. Aku kesana dulu lah”, Adit bergegas dari ruang kelasnya yang pengap dengan cat dua warna biru keabu-abuan di bagian bawah dan putih di bagian atasnya. Persis warna cat di rumah sakit umum yang sudah bertahun-tahun tanpa sentuhan apik renovasi.

Rendy datang menghampiri Adit sesaat Ia melewati mejanya, “Aku ikut, bro”. Bersama mereka berjalan ke ruang BK. Rendy gugup bukan main, jantungnya berdegup-degup seperti gendang pertunjukan pawai barongsai. Di kepalanya memutar kata-kata yang dipersiapkannya sejak kejadian itu. Mulutnya komat-kamit selama berjalan di lorong. Memilah-milah apa yang sebaiknya disampaikan. Tak ingin gurunya menganggap semua alasannya tak masuk diakal. Otaknya berputar keras.

Adit mengetuk pintu ruang BK, “Permisi, Bu”.

“Ya, masuk.”

“Assalamualaikum, selamat siang bu. Saya Adit, ada apa ya, Bu?”, Adit dan Rendy masuk ke ruang BK berdiri persis di depan pintu yang baru saja Ia tutup rapat. Pintu dengan bahan kayu dan cat cokelat berbahan minyak yang mengkilap seperti rambut klimis Charles di pagi hari.

“Walaikumsalam. Silakan duduk”, tatapan Bu Nurlela datar saja membolak-balikkan kertas yang ada di depannya. Disusunnya rapih-rapih. Atau setidaknya tidak beserakan seperti tadi adanya.

Rendy masih deg-degan bukan kepalang. Mentalnya ciut tak serupa saat berhadapan dengan siswi-siswi yang menyapanya ‘Bang Rendy’.

Bu Nurlela menatap Rendy tanpa ekspresi, tatapan paling terpopuler seantero sekolah. Kedua alis matanya lurus sempurna, dengan sisi ujungnya yang lancip bekas pensil alis. Runcing seperti ujung pisau kupas mangga. Mulutnya terkatup dengan rapat, hanya bicara seperlunya. Intimidatif. Ruangan senyap itu menambahkan kesan mencekam, paling tidak untuk Rendy.

Anak-anak yang berada di luar lalu lalang mendadak berhenti berbicara saat melewati tepat di depan pintu BK. Tempat paling keramat di sekolah. Tempat dengan penunggu kasat mata yang duduk sambil membaca buku di mejanya.

“Kamu ngapain disini?”, Bu Nurlela berbicara ke arah Rendy. Terkejut tak siap akan keadaan barusan. Bahunya terangkat bersama dengan tarikan napasnya yang dalam. 

Dia hembuskan nafas itu sebelum bicara, “Begini bu, saya mau menjelaskan…”, omongan Rendy belum selesai dan diakhiri begitu saja oleh Bu Nurlela. 

“Sudah. Kamu tunggu di luar. Nanti saya panggil kalau butuh, bagaimana??”. Skakmat.

Apa boleh dikata kalau Bu Nurlela bertitah demikian. Rendy tak kuasa berkata-kata lagi. Mulutnya kelu bahkan bernapas saja rasanya sulit. “Ba.. Baik, Bu. Saya tunggu di luar Bu”.

“Kok di luar? Balik ke kelasmu”.

Belum sempat memberikan penjelasan apapun, kata-kata yang dirangkainya buyar seketika begitu digertak Bu Nurlela. Dia beranjak dari tempat duduknya yang hanya Ia gunakan dalam hitungan kurang dari lima menit, bahkan tempat duduk itu belum sempat panas sama sekali selepas Ia beranjak.

Rendy keluar dari ruangan itu, penuh khawatir pada sahabatnya yang terseret masalah karena dirinya. Ia menyerah.

Bu Nurlela melanjutkan urusannya dengan Adit yang sedari tadi memastikan Rendy untuk keluar saja cepat-cepat karena dia pun tak ingin ada orang lain yang terlibat.

Di kepalanya berputar-putar pikiran tentang hukuman yang akan dia terima, paling tidak kena skors seminggu, atau Ayahnya harus ke sekolah mendapatkan laporan dari Bu Nurlela. Dan itu pasti sangat merepotkan. Ayahnya harus cuti seharian, melewati perjalanan 4 jam jalan darat hanya untuk sampai di sekolahnya dari kebun tempat Ayahnya bekerja. Duh. Belum selesai masalah yang satu, sudah akan datang masalah lainnya.

“Aditya… Mardian ya… saya dengar kamu sehari-harinya berjualan sepulang sekolah?”, buka Bu Nurlela pada obrolan siang itu.

“Iya, bu”, jawab Adit. Tanpa curiga sama sekali siapa yang memberitahukan Bu Nurlela. Bu Florens? Charles? atau Rendy? Tak mungkin Rendy. Dalam kepalanya lebih penasaran soal Bu Nurlela kapan akan menanyakan permasalahannya dengan Deni.

“Bagaimana perkembangan usaha jualan kamu, Adit?”.

“Ma… sih… umm…”, Adit ragu-ragu memberikan jawaban ke Bu Nurlela. “Masih bu, sekarang bantu-bantu Kakak saja Bu”. 

“Oh ya? Pak Badaruddin bilang kamu sudah jarang bawa kue akhir-akhir ini. Benar itu? Usahamu baik-baik saja?”.

Pak Badar? Sangat mengejutkan. Pertanyaan di kepalanya tentang orang yang menceritakan perihal ini ke Bu Nurlela ternyata adalah orang yang dia anggap sebagai tempatnya untuk pamer hasil jualan saat masih hilir mudik di Villa Lestari.

“Iya Bu. Kalau itu… saya sudah berhenti jualan keliling Bu”.

“Oh, kenapa begitu? Sepertinya cukup baik juga untuk mengisi waktu luang ya. Yang pasti harus diingat juga prioritas kamu ya tetap belajar. Jangan lupakan itu”.

Adit hanya mengangguk-angguk tak pasti. Sejak tadi hanya mampu menjawab iya.

“Kenapa tidak jualan lagi, Dit?”, Bu Nurlela mengulangi pertanyaanya, penasaran tentang isi pikiran anak yang duduk di depannya ini.

Lihat selengkapnya