Bel sekolahnya berdering kencang, disusul tawa anak-anak yang girang yang tak dapat dibendung tiap kali bel sore itu diputar. Tanda mereka bisa segera mengepak buku dan merapihkan tas untuk pulang. Beranjak dari kursi bekas mereka duduk yang mulai panas. Kecuali Charles yang tampak tak senang.
Tak banyak dari mereka menyadari kalau bel tanda pulang sekolah itu adalah salah satu melodi terkenal yang berjudul ‘Fur Elise’ —Untuk Elise— diciptakan oleh seorang komposer ternama Ludwig van Beethoven di tahun 1867. Dan simponi itu diputar berulang-ulang di cassete player usang milik sekolah mereka dengan suara berdengking-dengking ke berbagai penjuru. Tak ada yang lebih mengganggu saat perut keroncongan ditemani musik yang seharusnya indah namun terdengar melengking tinggi.
Adit tak sempat bercerita ke Charles tentang masalah dia dan Deni tadi siang. Tampak sekali sahabatnya itu sangat sibuk dengan persiapan olimpiade se-provinsi. Dia pergi begitu saja dari ruangan itu dan Rendy tampak menginterogasinya.
“Jadi kau nggak dimarahi, kawan?!”, ucap Rendy setengah terkejut ke sahabatnya itu dengan rasa bersalah yang masih tersisa. “Syukurlah…”.
“Nggak apa-apa. Kau ndak usah khawatir, sepertinya Deni nggak cerita kesiapa-siapa soal yang tadi”.
“Ya, baguslah kalau begitu. Lega juga aku jadinya. Aku lebih khawatir sama kau, bro”.
“Nggak apa-apa. Oh ya, selamat ya”, potong Adit saat Rendy menghembuskan nafas berat-berat dari lubang hidungnya. Kumis tipisnya tak bergeming saat nafas berat itu dikeluarkan.
“Selamat apa?”, Rendy benar-benar tak sadar akan selamat dari Adit untuknya.
“Tadi Utari yang cerita”.
“Ah! itu…”, Rendy hanya tertawa canggung. “Ya, sama-sama. Aku padahal mau cerita sendiri”.
“Hmm… santai aja”, ucap Adit tentang tingkah tidak enakan sahabatnya itu. Adit pun tak keberatan sebenarnya untuk tidak tau lebih banyak tentang urusan pribadi Rendy. Tak menariknya baginya tau lebih dari itu.
“Yaudah, aku ada janji. Nanti lain kali kita bahas ya!”, Adit tampak ingin bergegas dari sana. “Satu lagi. Lain kali jangan apa-apa langsung diceritain ke orang ya. Utari jadi tau tentang masalah kita dan Deni”.
“Aduuhhh… maaf maaf. Tapi tumbenan kali kau peduli? hahaha”, Rendy menggoda Adit yang tampak tak senang bukan karena ceritanya tersebar tapi takut ceritanya diketahui teman perempuannya itu.
“Woy! Jangan macem-macem mikirnya…”, galak dan tak ingin punya bercandaan urusan asmara atau yang berkaitan dengan itu.
Adit beranjak dari hadapan Rendy, mengejar titah dari Bu Nurlela. Namun Ia tak temui Bu Linda ada di ruangannya.
~~~
Ada belasan orang Anak berbaris di bawah pohon sambil berteduh, terlihat mereka dengan seksama mendengarkan arahan dari mentor mereka yang berbicara di depan. Menjelaskan sesuatu, entah apa itu, yang tidak bisa didengar jelas oleh Adit dari jaraknya Ia berdiri.
Dia lihat orang yang berbicara di depan siswa-siswi itu, seorang guru perempuan, Bu Linda, guru yang akan Ia temui sore itu. Bu Linda dengan jilbab ungu, mengenakan baju setelan olahraga dengan celana berwana ungu muda pula. Bajunya lengan panjang dengan kerah baju tertata rapih. Bu Linda terlihat sekali adalah guru dengan perawakan paling fit di sekolah ini, saat guru-guru lain mulai lelah dengan rutinitas dan — maaf — sedikit menunjukkan gejala obesitas. Mungkin Bu Linda sesekali harus memotivasi rekan-rekannya di sekolah untuk berolahraga. Tapi siapa duga, keterbatasan waktu bisa jadi perkara utama.