“Adik kamu kemana, Kak? Kok tidak kelihatan dari pagi?”, tanya Mardi. Dia memanggil Ayu dengan ‘Kak’, untuk membuat putra putrinya terbiasa memanggil dengan sapaan itu.
Ayah mereka berdua Sabtu ini menyempatkan untuk mengunjungi mereka. Tak melihat Adit ada di rumah sejak pagi. Adit sudah tertidur pulas saat malam dia tiba di rumahnya.
Pagi-pagi Adit sudah keluar dari rumahnya. Lebih pagi dari biasanya. Membongkar-bongkar sepatu di rak-rak kayu usang dengan kaki-kaki rak yang tidak rata. Di bawahnya bisa dilihat ada lipatan kertas koran yang dilipat kecil dan cukup tebal untuk mengganjal kaki rak tersebut supaya berdiri sama rata. Kaki rak yang tidak rata itu mengecap jejak kecokelatan di lipatan kecil itu.
Adit mengambil salah satu dari sepatu, warna putih dengan corak tiga garis berwarna biru di sisi kanan-kirinya. Diambilnya kain dan satu gayung air, dicelup-celupkan sekenanya saja kain itu, lalu digosok-gosokkan merata di sepatu berdebu miliknya. Noda-noda bandelnya jelas saja tak bersedia beranjak dari kulit sepatu itu hanya bermodalkan air dan kain basah.
Adit terlihat masa bodoh dengan bekas noda yang ditinggalkan pada sepatunya, dipukul-pukulnya sepasang sepatu itu berhadapan memastikan sisa debu dan pasir berjatuhan. Lalu, dia masukkan ke dalam tasnya yang penuh sesak. Namun urung niat karena tasnya tak berkenan untuk menutup rapat-rapat.
Sepatu itu adalah sepatu yang sama Ia gunakan saat seleksi internal sekolah yang Ia ikuti di awal tahun bergabung dengan tim atletik sekolahnya. Seleksi yang sama untuk mencari calon atlit perwakilan sekolah. Sepatunya tidak sespesial sepatu atlit sprint maupun lompat jauh dengan spike, paku-paku di bagian telapak kaki depannya, untuk menopang tubuh agar lebih cepat dalam berlari. Sepatu itu sudah cukup untuknya karena bisa digunakan untuk olahraga lain, pikirnya.
Adit meragukan dirinya saat Bu Linda memintanya untuk bergabung kembali dengan tim sekolah. Dia tak pernah latihan sama sekali, tidak aktif di ekstrakulikuler, bagaimana mungkin?
Satu-satunya latihannya adalah berjalan jauh sambil menenteng box makanan, atau berlari sekencang-kencangnya saat dihadang berandal samping komplek Villa Lestari.
“Tak apalah”, pikirnya karena tau pasti tak ada salahnya untuk mencoba sekali ini saja. Paling tidak Ia bisa menghindar dari hukuman Bu Nurlela.
~~~
“Bersedia!”.
Adit bersama 5 orang lainnya bersiaga dengan posisi start dengan jongkok. Bahunya condong ke depan, dan tangannya menyentuh tanah. Dia atur dengan pasti jarak antara tangan kanan dan kirinya sesuai dengan posisi lebar bahu. Jari-jari kedua tangannya berbentuk menyerupai huruf V yang diputar dengan pandangan mata lurus ke depan. Dia lihat gari finish dari posisi 100 meter dia berjongkok. Adrenalinnya terpacu.
Pagi ini dia ogah-ogahan untuk mencari sepatunya. Sore harinya dia merasakan gejolak untuk berkompetisi dalam dirinya. Tak ingin kalah pokoknya. Malu.
“Siap!”, teriak seorang anak yang sama berlaku sebagai wasit.
Serempak mereka mengangkat panggul dengan posisi lebih sedikit di atas bahu dengan kaki yang lebih lurus. Adit mengambil nafas dalam-dalam. Jantungnya masih terpacu. Tapi tak boleh hilang konsentrasi.
Pandangannya masih lurus ke depan. Bulir keringatnya mulai menjatuhi pipi sebelah kanan.
Dia harus rileks. Ini bukan perlombaan sebenarnya. Ini hanya latihan.
“Mulai”, teriak anak itu setelah beberapa detik berikutnya.
Adit mengayunkan lengan kirinya ke depan sedangkan tangan kanannya mengayun ke belakang dari posisi jongkok terakhirnya. Kaki kirinya ditekan untuk melakukan lompatan dengan kuat, dan kaki kanannya mulai melangkah dengan cepat. Dan memastikan posisinya stabil untuk melakukan sprint.