“Rendy, kau tau apa yang paling menyenangkan setelah capek latihan seharian?”.
“Kalau aku? Makan es teler!”, jawab Rendy ke sahabatnya itu.
“Bukan makan lah, es teler diminum. Aneh kau ini”.
“Oh iya itu maksudku. Kau bayangkan kelapa muda dan alpukat berenang-renang bersama es di dalam air susu. Kalaulah muat, rasanya aku pengen berenang di mangkuknya”.
“Ya muatlah, kau kan kecil. Berapa sih tinggimu?”.
“Jangan main fisik lah”. Tak senang tubuh pendeknya dipermainkan sahabatnya sendiri. “kalau kau?”.
“Aku pengennya makan rujak sambil tidur-tiduran di teras depan rumah”.
“Kau nggak keselek makan rujak sambil tiduran? Kan nggak lucu kalau kedondong nyangkut di tenggorokan kau. Aneh-aneh aja kau ini”.
“Yaudah, kan bisa ganti sambil duduk”, ujar Adit.
Dan Adit melanjutkan tiba-tiba, “Kau tau, aku sering lihat pelangi di siang hari pas matahari tepat di atas kepala! Pelanginya pas kali sekeliling matahari kayak cincin. Kau pernah lihat juga?”
“Nggak pernah. Emangnya aku ini kayak kau yang sering liatin langit siang hari!? Mungkin ada rusak sikit —sedikit— otakmu lantaran ngelihat matahari langsung”.
“Kalo ngelihat matahari itu, mataku yang rusak. Bukan otak. Gimana pulak?”.
“Ndeh… sukak kau lah”.
“Besok… sesekali kau ajak pacarmu liatin matahari, biar kalian lihat pelangi cincin barengan. Romantis kan?”
“Emang fixed, agak rusak otakmu. Kalau aku masih excited ngelihat pelangi, udah pantas belum aku punya pacar?”
“Hahaha. Iya juga bro”. Buru-buru Ia mengganti pembicaraan, “Kau pasti punya panggilan sayang ke pacarmu, kan? Ngaku aja Bang… ngaku….”, godanya.
“Ada lah. Pasti. Harus kali kau kukasih tau?”.
“Papa mama kan? Ayah bunda kan? Atau pipi mimi? hahaha”, serobot Adit seenaknya. Senang melihat Rendy tersudut dengan ejekannya. Wajahnya dibuat-buat seperti orang mau muntah.
“Agak gila kau memang ya kutengok-tengok --kulihat-lihat--”.
“Kan kau sendiri yang waktu itu bilang kalau bisa nikah sekarang, kau mau nikahin Dinda. hahaha”.
“Astaga! Masih SMP lho kami. Lagian norak kali kau suruh aku panggil papa mama!?”.
Sore itu Adit dan Rendy sama-sama baru menyelesaikan latihan mereka. Adit berlatih untuk bisa lolos sebagai wakil sekolahnya di POPDA, sementara Rendy punya peluang besar untuk lolos karena tim sepakbolanya sudah dibentuk sejak lama.
Adit butuh usaha lebih keras lagi di latihannya, meski tau beberapa orang di tim tersebut meragukan kemampuannya. Bahkan ada yang menerka-nerka kalau Ia tak akan berhasil masuk ke tim seleksi untuk POPDA.
Mereka menganggap Adit tak pernah berpartisipasi dalam latihan-latihan panjang sebelumnya, berpikir kalau ini hanya pelarian Adit saja dari rutinitas hariannya yang sudah terhenti. Menurut mereka, kesempatan ini terlalu besar untuk diberikan kepada seorang Adit. Wajar memang munculnya pikiran seperti itu, karena bergabungnya Adit kembali ke tim ini terkesan mendadak. Seperti mendapatkan hak istimewa saja.
~~~
Mardi sepertinya belum punya alasan yang cukup untuk menjelaskan kepada Adit yang selalu bertanya tentang keinginannya untuk pindah ke perkebunan tempat Ayahnya bekerja. Karena hal itu mungkin akan mengurangi beban dari keluarga mereka dengan tinggal bersama-sama. Hari ini Adit sudah bertanya tiga kali perihal itu.
Mardi hanya meninggalkan secarik kertas di atas meja berisi alamat perkebunan tempat Ia bekerja. Semua itu hanya untuk membuat Adit berhenti dari menanyakan keinginannya di hari itu. Adit merasa dengan kunjungannya kesana bisa meyakinkan keinginannya untuk pindah ke perkebunan Ayahnya. Siapa tau dia punya kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya disana, berjualan atau bekerja membantu Ayahnya nanti.
Mardi hanya berpesan ke anak laki-lakinya itu untuk berfokus saja kepada sekolah dan ekstrakulikulernya. Jadi dia tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk berpergian ke luar kota. Itu akan sangat baik untuknya menjelang kejuaraan olahraga di sekolahnya.