Awan Tanpa Rupa

ANCALASENJA
Chapter #12

Rayuan Kebun Kelapa Sawit

Adit diam-diam mencari tau bagaimana caranya untuk bisa mengunjungi Ayahnya. Bermodalkan uang celengan dan secarik kertas yang Ayahnya tinggalkan untuknya. Tak bercerita ke siapa-siapa tentang rencananya, lebih-lebih ke Ayu. Kakaknya itu tak akan mungkin memberikannya izin berpergian.

“Lagipula 4 jam perjalanan dengan mobil travel itu nggak jauh-jauh amat”, ucapnya.

Adit mengisi tasnya dengan pakaian seadanya untuk satu atau dua hari, merencanakan perjalanan untuk menginap di akhir pekan.

Mobil travel yang akan Ia tumpangi datang setelah sekitar tiga puluh menit menunggu di bawah gapura persimpangan jalan tempat supir travel itu mangkal. Mobil dengan cat berwarna putih itu memiliki empat baris tempat duduk ke belakang termasuk deretan pengemudi.

Di dalam mobil itu panas, hembusan pendingin mobil itu tak berasa sama sekali. Sesekali Adit tertidur dan terbangun. Tempat duduknya yang dari kulit itu mulai retak-retak termakan usia dengan bau apek seperti tumpahan kopi dan keringat orang yang menempel. Entah sudah berapa orang yang duduk di sana.

Sepanjang perjalanan, Adit hanya melihat beberapa rumah yang berlokasi saling berjauhan, disusul dengan hamparan kebun kelapa sawit di kiri kanan jalan. Jalan lintas Sumatera memang berpemandangan seperti ini, lebih-lebih yang berada di propinsi Ia tinggal.

Sesekali Ia melihat pipa-pipa besar berwarna hitam pekat yang berfungsi sebagai pipa saluran dari sumur eksplorasi produksi minyak bumi. Pipa-pipa itu mengangkut minyak yang dihasilkan dari ladang dan sumur minyak untuk dibawa ke kilang milik perusahaan pengelola. 

Jalanan yang dilaluinya itu terlihat sangat panas terlihat dari dalam mobil, seakan-akan aspal yang dilewatinya itu sedang memuai. Siapapun tak akan mau bertelanjang kaki berjalan di atas aspal itu. Siapa yang mau kakinya melepuh berjalan disana tanpa alas? Tak akan ada.

Adit pun tiba di titik Ia harus turun, tak jauh dari situ seharusnya ada pangkalan ojek yang bisa mengantarkannya ke perkebunan. Hari sudah sore meski langit masih cukup cerah, tapi Ia tak ingin kemalaman.

Adit menaiki ojek yang disupiri oleh seorang lelaki dengan jaket hitam hadiah dari pembelian motor pertama. Lengkap dengan alamat showroom tempat Ia membeli motornya.

Motor Supra itu yang menerjang jalanan tanah merah dengan lubang-lubang yang menganga dimana-mana. Pantat Adit mulai panas beberapa kali terlompat dari kursinya, dan sesekali terseret-seret ke depan saat tukang ojek itu mengerem motornya bermanuver menghindari lubang.

“Maaf ya, Dek...”, kata tukang ojek itu. Suaranya tak terdengar begitu jelas tersamarkan dengan suara motornya yang seakan menangis setiap hari berjibaku dengan rute seperti ini.

“Kamu baru pertama kali kesini?”.

“Iya, Bang”, dengan suara yang dikencang-kencangkan Adit menjawabnya. Setengah berteriak, “Saya mau ke rumah Ayah saya. Kerja di perkebunan dekat sini”.

“Oh ya? Kalau di sini kami pun kenal semua. Sering kali naik ojek kami”, nada bicaranya sangat Melayu sekali dengan penekanan huruf akhiran ‘a’ yang lebih terdengar seperti pelafalan huruf ‘e’ lemah pada kata ‘tante’.

“Wah. Jadi abang mungkin kenal sama Ayah saya, Pak Mardi?”, tanya Adit antusias. Mungkin saja tukang ojek ini bisa langsung mengantarkannya ke rumah Ayahnya langsung.

“Ayah kamu tinggal di alamat yang tadi kamu tunjukkan, Dek?”, tanya tukang ojek itu sekali lagi pada Adi.

“Iya, Bang”.

“Setau kami itu alamat rumah untuk pekerja kebun yang menetap sementara. Nanti coba tanyakan saja ke satpam disana ya. Agak kurang yakin kami”, ujarnya.

Adit baru sadar tukang ojek ini menggunakan kata ganti ‘saya’ dengan ‘kami’ untuk merujuk pada kata ganti orang pertama. Mungkin penggunaan kata ‘kami’ lebih familiar disini. Dan itu bisa saja kata yang paling sopan tapi tetap akrab untuk bergaul dengan orang sekitar.

Dua puluh menit berikutnya, tukang ojek itu mengantarkan Adit tiba persis di depan gerbang perusahaan perkebunan Ayahnya. Paling tidak itu yang tertulis di pagar depan perusahaan itu. Besar-besar terpajang di paling atas gapura penyambutan.

“Pak, permisi. Saya mau menanyakan apa benar Pak Mardi tinggal disini? Saya anaknya sedang berkunjung kesini”, Adit menemui satpam yang menjaga sore itu dengan sopan.

“Pak Mardianto, ya?”, satpam itu berpikir sebentar. “Pak Mardi yang dari Pasarbaru?”.

“Iya benar, Pak”.

“Pak Mardi sudah tidak tinggal disini. Sudah pindah”.

Pindah? Pindah bagaimana. Ini alamat yang Ayahnya tulis sendiri. Bagaimana mungkin Ayahnya bisa salah memberikan alamat rumahnya sendiri kepadanya.

“Pindah... kemana ya, Pak? Saya dituliskan alamat oleh Ayah saya untuk kesini”, ucap Adit panik sudah jauh-jauh datang dari Pasarbaru.

Tahun 2007 tak banyak anak sekolah yang mempunyai telepon genggam sendiri. Adit meminta tolong ke satpam itu untuk menanyakan alamat Ayahnya sehingga Ia bisa kesana sebelum gelap. 

Lihat selengkapnya