Awan Tanpa Rupa

ANCALASENJA
Chapter #13

Cerita Bualan

Istri Mardi kembali ke dapur, mengambilkan teh hangat untuk Adit. Dia meninggalkan bayi perempuan kecilnya ke pangkuan Ayahnya.

Perempuan itu sepertinya tau kalau hal ini akan terjadi suatu saat nanti. Dan saat itu adalah hari ini.

Bayi perempuan itu duduk tenang di pangkuan Ayahnya. Pikiran-pikiran buruk ada di kepala Adit, tak yakin kalau dia pernah digendong dengan cara yang sama seperti ini.

“Ini anak Ayah, namanya Amelia”, Mardi merasakan perbedaan sikap yang Adit tunjukkan padanya. Paham betul kalau Adit sudah tau akan semua yang Ia sembunyikan darinya.

Kali pertama ini untuk Adit, segelas teh hangat yang tak lagi terasa menghangatkan dadanya. Alih-alih dadanya seperti terasa terbakar. Terbakar oleh kekecewaan.

Harapannya tentang Ayahnya dan semua keinginannya untuk tinggal bersama dibuang jauh-jauh dari dalam kepalanya. Saat itu juga. Dia tak ingin tau apapun lagi tentang yang Ia saksikan, rasanya semua sudah cukup baginya.

Adit menatap Ayahnya dan anak kecil itu sebentar sebelum lamunannya tentang kakaknya datang di kepalanya.

Adit dengan nada bicara yang sangat datar tak ada hal lain yang Ia ingin tanyakan selain bagaimana mungkin seorang Ayah bisa menyembunyikan hal ini sebegitu lama. “Ayah kenapa nggak pernah bilang?”, tampak kecewa dari sorot matanya.

Mardi hanya memperhatikan anak lelakinya itu duduk sedang menahan diri. Adit yang terbiasa meletup-letup menjaga sikapnya kali ini.

“Gimana kalau kakak tau ini?”, Adit berkelit tiba-tiba membawa Ayu ke obrolan ini, padahal yang sebenarnya Ia bawa adalah perasaannya sendiri.

“Ayah kenapa hanya memikirkan diri sendiri? Ayah tau tidak kakak disana bekerja padahal seharusnya dia tak perlu melakukan itu. Sementara Ayah sibuk dengan keluarga baru Ayah. Ayah sepertinya memang berniat menelantarkan kami…”, ujar Adit, nafasnya terputus-putus berbicara sambil menahan emosi.

Adit menarik nafasnya dalam-dalam. Dia tak ingin anak yang digendong Ayahnya itu menangis jika nada suaranya terlalu tinggi.

Adit tak menyangka orang-orang dewasa bisa sangat egois. Mereka hanya peduli dengan hidup untuk memikirkan diri mereka sendiri. Dan orang yang menjadi korban dari semua itu adalah anak-anak mereka.

Dia dan kakaknya menghabiskan hari dengan hidup sederhana serta bekerja di luar sekolah selama ini. Memikirkan nasib Ayahnya agar tak bekerja terlalu keras demi mereka. Tapi Ia menyadari Ayahnya bukanlah orang yang selama ini Ia sangka-sangka. Ayah tak pernah memikirkannya sama sekali, menurutnya.

Memang tak ada yang pernah meminta Adit untuk melakukan semua pekerjaan di waktu luangnya karena Ia melakukan itu untuk kebaikan keluarga. Keluarga yang selalu Ia pikirkan untuk tak terbebani apapun karena dirinya. Keluarga yang Ia anggap akan selalu jadi tempat Ia bisa bersandar dari apapun masalah yang Ia hadapi.

Adit yang menyimpan sepi akan ketiadaan Ibunya selama ini. Baginya, Ibunya pergi karena berjuang untuk melahirkannya, sementara Ayahnya mengkhinati semua perjuangan itu. Tak hanya pada Ibunya, tapi juga pada dirinya dan Ayu.

Lihat selengkapnya