Adit bangun pagi sekali untuk shalat subuh dan berbersih diri. Menahan lapar dengan sisa roti yang gepeng terhimpit baju yang masih ada di dalam tasnya. Hanya berdiam di kamar belakang yang hanya berisikan tempat tidur untuk seorang dan beberapa pakaian yang menumpuk.
Tak lama Ayahnya datang mengetuk pintu kamarnya, “Ayo sarapan, Dek”, ujar Mardi dari depan pintu.
“Nggak, terima kasih. Adit mau langsung pulang”.
Mardi tak menyangka Adit akan langsung pulang pagi ini juga, karena dia bisa menunggu sampai sore atau malam tiba.
“Jangan begitu lah, kalau Adek mau pulang, ya harus makan dulu. Paling tidak sarapan”.
Adit tak menjawab ucapan Ayahnya.
Mardi pergi untuk beberapa saat lalu kembali dengan satu piring nasi goreng dan telur mata sapi, dan satu kotak bekal makan siang yang istrinya siapkan untuk Adit.
“Paling tidak kamu sarapan dulu, kalau kamu mau pulang sekarang nggak apa-apa. Nanti ayah sendiri yang antarkan”.
“Nggak usah. Besok Ayah kerja. Aku bisa sendiri”, ucap Adit tak ingin Ayahnya mengantarkan.
Adit tak pernah sesulit ini untuk diajak berkomunikasi. Apalagi hanya sebatas memintanya untuk sarapan.
“Pokoknya nanti Ayah antarkan!”, Mardi bersikeras kepada anaknya itu.
“Nggak usah Adit bilang”, tak mau Ayahnya mengantarkan, “Adit akan makan makanan dari Ayah, tapi Adit pulang sendiri!”.
Perdebatan itu tak berkesudahan jika dilanjutkan. Mardi mengalah mengikuti apa kata putranya kali ini.
“Nanti begitu sampai, kamu harus bilang ke kakak untuk menghubungi Ayah. Ayah akan sampaikan ke kakak kalau kamu sedang disini...”.
“Iya…”
~~~
Adit menyelesaikan sarapannya, dan mengemas kotak makan siang dari Ayahnya ke dalam tas.
Tukang ojek yang Adit tumpangi kemarin menunggunya di halaman depan rumah, mengenakan jaket yang sama dengan yang kemarin ia gunakan.
Mardi tak melanjutkan omongannya kemarin, ataupun mengenalkan istrinya kepada Adit. Anak itu sedang tak ingin mendengarkan apapun keluar dari mulutnya.
Mardi mendekati tukang ojek itu, “Bang tolong di antarkan ke depan jalan besar ya”, ucapnya lalu memberikan bayaran yang Ia anggap sesuai.
“Baik, pak”, tukang ojek tadi tak mengelak melihat selembar uang lima puluh ribuan. Jumlah yang cukup untuk mondar mandir dari rumahnya ke jalan besar.
Adit langsung duduk di kursi penumpang, memegang erat-erat tas ransel yang Ia bawa. Tau perjalanan dari rumah ini ke jalan besar akan dilalui dengan menghindari lubang-lubang jalan tanah yang menganga. Tak ingin lagi pantatnya terasa keram karena hentakan dari motor di jalan tak rata.
“Hati-hati ya, Dek”, kata Mardi kepada anaknya itu sambil menepuk pundak belakangnya.
Adit hanya diam saja dan membalas sekenanya, “Hmm…”.
“Permisi, pak”, kata tukang ojek itu lalu menyalakan motornya dan pergi dari hadapan Mardi.
Mardi tau anaknya akan baik-baik saja.
“Bang Syarif, kan ya?”, ucap Adit tak yakin dengan nama yang kemarin pernah Ia tanyakan, “Rumah abang dekat-dekat sini?”.
“Ya, betul. Hehe... Tak terlalu dekat sini kalau rumah kami. Tapi tak jauh dari jalan besar”, jawabnya.
“Ohh…”, ucap Adit sambil memikirkan rencana lain.
“Ada apa rupanya?”.
“Nggak ada apa-apa, Bang”.
Kejadian kemarin malam membuatnya berpikir untuk tidak pulang ke rumahnya. Rasa kecewa yang dia tuai membuatnya ingin pergi dari rumah. Meski sebenarnya tak tau harus kemana.
Bang Syarif, tukang ojek yang Ia kenal dua hari ini, mengantarkannya sampai ke persimpangan jalan utama dan jalan masuk ke permukiman Ayahnya.
“Bang, kalau untuk naik mobil travel sebelah mana?”, tanya Adit pada Bang Syarif.
“Oh ya, Adik mau ke Pasarbaru ya? Kami antarkan aja lah ke travel ya. Sekalian. Tadi Ayah kamu sudah bayarkan ongkosnya”.
Adit turun di persimpangan jalan lainnya yang tak pernah Ia lihat. Mungkin pernah tanpa sadar kemarin lalu lewat di jalan ini.