"Tan"
"Hah?"
"Gue sama Sasha mau nikah nih"
Disuatu sore, sahabatku sejak rahim mengatakan sesuatu kepadaku saat kami sedang bermain game bareng. Namanya Dimas, makhluk paling abstrak yang kebetulan lahir berbarengan dan berada di lingkungan yang sama denganku.
"Wah, bagus dong. Selamat Dim"
Aku melempar senyuman setulus mungkin kepada Dimas. Sekalipun kami selalu bertengkar kapanpun dan dimanapun, tapi untuk urusan seperti ini, aku turut berbahagia bersamanya.
"Tapi, gue ninggalin lu jomblo sendirian dong"
Ucapnya, memandangku dengan ekspresi prihatin lalu melanjutkan
"Kalau gue belum nikah juga kan elu masih ada yang nemenin, kesian gue ngeliatlu sendirian mulu, sendal swallow aja pasangan. Masak lu kagak"
Aku langsung melempar kepala Dimas dengan stik PS yang ada di tanganku. Dimas yang langsung menghindar memasang wajah nyengir super abstrak "Canda sistur, mana tega gue ninggalin elu sendirian. Mana bisa lu bertahan sendirian ngehadapin kritikan tetanggajen yang ngatain lu gadis lapuk"
Dan selanjutnya terjadilah baku hantam antara aku dan Dimas.
Atau ada lagi percakapan seperti ini
"Mbak"
"Apaan dek?"
"Ini ada sedikit buat mbak"
Sebuah kotak didorong tepat ke depanku. Aku memandangi kotak bertuliskan merk skincare asal negeri sakura itu dengan alis berkerut.
"Kamu ngasih ini buat mbak?"
Aku memandang adikku dengan tatapan tak percaya, tumben-tumbenan dia se-so sweet ini denganku.
Randi hanya cengar-cengir "Iya nih mbak, biar mbak nggak buluk lagi. Kesian yang liat mbak, sakit matanya"
Aku hanya tersenyum lembut, tak menggubris ucapan Randi. Jarang-jarang yakan aku dapat skincare mahal secara cuma-cuma.
Disaat aku sedang sibuk mengagumi produk yang ada di depanku satu persatu, Randi tiba-tiba berdehem
"Ini langkahanku mbak, aku mau nikah sama Zulfa"
Jderrr..
Ucapan Randi seketika membuatku membelalakkan mata. Bukankah dia baru aja tamat kuliah dan kerja? Zulfa, pacarnya sekaligus tetangga kami juga baru saja masuk kuliah.
Menyadari ekspresiku yang penuh tanya, Randi menggaruk kepalanya canggung
"Lebih baik nikah cepat mbak, nggak menimbulkan fitnah"
Randi menekan kata nikah cepat dengan senyuman penuh arti yang mulai terbentuk di wajahnya.
Selanjutnya sepanjang sore itu aku mengurung diri di kamar, ogah ketemu Randi sekalipun dia terus membujukku dan mengatakan dia merasa bersalah.
"Sakit hati mbak, dilangkahi adek sendiri, disindir pula tuh dengan kata-kata cepat nikah"
Aku mengencangkan volume suaraku, mencoba terdengar separau mungkin. Pintu kamar sengaja kubuka sebagian.
"Andai aja ada tas, sepatu, baju, es krim, snack yang aku suka, pastilah bakal terobati sakit hati hamba ya tuhan, walau sedikit"
Setelah itu aku menenggelamkan wajahku di bantal, sambil memukul-mukulnya frustasi. Aku lalu menutup pintu kamar, memutuskan untuk tidur saja karena memang rasa ngantuk sudah melandaku.