Selepas dikebumikan pada pukul sembilan Nana dan ibunya tak berhenti bersedih. Walau terkadang mereka terdiam dan kembali menangis saat ingat akan kejadian yang naas itu atau saat ada pelayat yang memeluk mereka. Tangisnya akan kembali.
Dua jam setelahnya, setelah dua jam dikebumikan. Tanah kuburan ayahnya masih basah, luka baru belum diobati bahkan baru saja terluka namun seseorang datang dengan santai dan mungkin berwajah riang. Orang itu adalah orang yang sering membuat pertengkaran didalam keluarga Nana. Dia adalah Om Mana.
Lelaki yang berstatus sebagai kakak ayahnya Nana itu datang lagi dengan mengatakan hal diluar dugaan disaat duka sedang menyelimuti keluarga kecilnya.
"Usaha almarhum di urus sama kakak aja ya" ucapnya dengan nada riang yang tak bisa ditutupi.
Ibu Nana tak bisa berpikir saat itu, orang mana yang bisa berpikir logis ketika kehilang suami, kepala keluarganya sekaligus ayah dari anak-anaknya.
"atau gini kakak bikin surat kuasa nanti kamu tanda tanganin, jadi semua harta sama usaha almarhum kakak yang urus" dengan entengnya ia berbicara.
Belum genap satu hari kematian adiknya, ia sudah membicarakan itu dengan senang hati. Nana, nenek dan paman bungsu dari ibunya menahan amarah melihat kelakuan Om Mana. Terlalu jahat membicarakan harta warisan seseorang saat baru saja dimakamkan.
Apa ia masih punya hati?, batin nenek Nana
Apa ia mempunyai perasaan, membicarakan harta peninggalan adiknya yang baru saja dikubur oleh kedua tangannya sendiri. Atau mengapa juga ia ingin mengurusi harat warisan hasil keringat ayah istrinya yang ia usahakan untuk anak istrinya. Adik kadungnya baru saja meninggal tapi ia dengan senang hati membicarakan harta warisan yang dimana sang adik mempunyai anak sebagai pewaris sahnya. apa dia punya hati? batin Nana geram.
"aku kasiin,tapi harta aku gak akan kasih, kan ada anak-anak pewaris sah" balas ibunya.
"ia kakak juga gak akan lup-" belanya namun terpotong ucapan ibu Nana.