AYAH

Bentang Pustaka
Chapter #1

Purnama Kedua Belas

Malam senyap, tak ada suara kecuali bunyi kafilah-kafilah angin berembus dari selatan, menampar-nampar atap rumbia, menyelisik daun delima, menjatuhkan buah kenari, menepis permukaan Danau Merantik, menyapu padang, lalu terlontar jauh, jauh ke utara. Sesekali burung-burung pipit yang tidur di gulma terbangun, bercuit-cuit berebut tempat tidur, lalu senyap lagi.

Meski tersembul di antara gumpal awan April, purnama kedua belas terang benderang. Begitu terang sehingga Sabari yang duduk sendiri di beranda, sedih, kesepian, dan merana, dapat melihat gurat nasib di telapak tangan kirinya. Tangan kanannya erat menggenggam pensil.

Tak ada yang dapat dipahaminya, telapak tangannya adalah anak-anak sungai yang tak tentu mana hulu mana hilirnya. Sabari terombang-ambing di riaknya, timbul, tenggelam. Dibekapnya pensil itu, bunga-bunga ilalang beterbangan dalam dadanya.

Seekor kucing berbulu hitam, tetapi telah berubah menjadi abu-abu, karena suka tidur di tungku, melompat ke pangkuannya. Kucing yang telah berjanji pada dirinya sendiri, untuk ikut Sabari sampai ajal menjemput, juga merana. Biduk rumah tangganya, persis rumah tangga Sabari, telah karam. Marleni, istrinya, telah minggat, direbut kucing garong dari pasar pagi Tanjong Pandan yang tak tahu adat.

Bentuk rumah Sabari pun macam orang kesepian, bongkok, mau tumpah, kurang percaya diri. Sebatang pohon delima di pojok kanan pekarangan ikut-ikutan kesepian. Mereka, termasuk pohon delima itu, rindu kepada Marlena, Marleni, dan terutama, Zorro.

Abu Meong, nama kucing tadi, meloncat dari pangkuan juragannya lalu melangkah menuju dapur dengan gaya seperti orang habis melemparkan bola boling. Penuh gaya, tetapi palsu. Selain patah hati, kucing dapur itu juga menderita tekanan batin, post power syndrome istilah masa kini, sejak tikus-tikus di rumah itu minggat. Tetangga kiri-kanan bilang, tikus-tikus itu tak tahan karena Sabari selalu muram, tak ceria seperti dulu. Buncai, tukang kredit alat-alat rumah tangga, malah menyebarkan gosip tak sedap. Katanya, tikus-tikus itu terjun ke dalam sumur, mengakhiri hidup mereka, lantaran tak sanggup kelaparan sebab Sabari begitu miskin. Tinggallah Abu Meong yang baru sadar bahwa kaum tikus yang kerap mengalami perlakuan represif darinya adalah sumber wibawa, sekaligus kebahagiaannya, satu-satunya.

Marlena, oh, Marlena, perempuan yang telah membuat Sabari senewen karena kasmaran. Cinta pertamanya, belahan jiwanya, segala-galanya. Sayang seribu sayang, tak sedikit pun Lena mengacuhkannya. Gambar-gambar hitam putih, karena sudah lama tentu saja, silih berganti melayang dalam kepala lelaki lugu yang melankolis itu. Gambar waktu Sabari mengambil saputangan Lena yang jatuh di lapangan upacara.

Lihat selengkapnya