AYAH

Bentang Pustaka
Chapter #2

Radio

Sepanjang pengetahuan Amiru, ayahnya, Amirza, tak pernah ke warung kopi seperti kebanyakan lelaki di Kampung Nira. Meski belum bolehlah dikatakan panjang pengetahuannya sebab dia cuma bocah lelaki berusia sepuluh tahun, kelas lima SD.

Amirza bekerja sebagai buruh pabrik sandal jepit bermutu. Malam dilewatkannya dengan menjalin pukat di bawah temaram lampu minyak sambil menyimak siaran radio. Istri, tiga anak, pabrik sandal jepit, menjual pukat, dan radio. Dalam lingkaran itulah hidup Amirza berputar, hari demi hari, tahun demi tahun, tak ada hal lain.

Bahasa yang asing dan irama yang aneh dari negeri-negeri yang jauh kemerosok, timbul tenggelam, menguing dari radio kuno yang tutup belakangnya tak tahu sudah minggat ke mana, sehingga tampak rangkaian kabel berkelak-kelok semau-maunya di antara tabung-tabung berdebu, lalu secara ajaib mengeluarkan bunyi, bahkan musik, bahkan orang berkata-kata!

Di atas tombol fine tuning ada tulisan PHIL dari bahan berkilau. Lalu, ada jejak tulisan LIP di sampingnya, menandakan radio itu telah mengalami masa-masa yang jaya sekaligus perjuangan yang sulit. Ujung antenanya dililit kawat kuningan yang diulur menuju belakang rumah lalu ditautkan ke kawat kandang bebek. Tentu dimaksudkan agar dapat menerima siaran radio lebih jelas. Bagaimana kandang bebek bisa menjadi perpanjangan antena radio adalah bagian dari petualangan epik Amirza bersama radionya, yang di dalamnya melibatkan seorang lelaki Melayu amatir bernama Syarif Miskin.

Seandainya mau disebut sebagai teknologi, radio itu adalah teknologi pertama dan satu-satunya di rumah itu, yang bahkan tak berlistrik. Jika mau disebut hiburan, radio itu pula satu-satunya hiburan bagi Amirza sekeluarga. Jika ingin disebut harta, radio itu pula harta paling berharga di rumah itu. Dan, jika ingin disebut sebagai budaya, Amirza adalah penganut budaya radio yang setia.

Lihat selengkapnya