Ayah

Novitasari
Chapter #1

Ayah

Aku adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga kecilku. Aku terlahir dari sebuah keluarga yang biasa-biasa saja. Bahkan bisa dibilang keluarga yang perekonomiannya serba pas-pasan, (ini hanya karena ayahku pandai mengatur dan menutupi semua keperluan rumah tangga saja). Sekali cukup, lebih sering kurangnya.

Dalam keluargaku, mulai dari kakek-nenek hingga kedua orangtuaku, tidak ada satu pun yang berpendidikan tinggi. Untung-untung juga hanya lulus SD. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja susah. Maka dari itu, ayahku hanya bisa bekerja sebagai buruh kebersihan, atau entahlah bagaimana menyebutnya. Yang jelas bahasa kasarnya sebagai tukang sapu jalan di pabrik Semen Padang. Di samping itu, ayahku juga mengolah beberapa petak sawah milik kelurga Ibu yang hasilnya dibagi dua dengan mereka. Dari hasil bekerja dan bertani itulah ayahku dapat membangun sebuah rumah kecil di tanah warisan milik keluarga Ibu. Yang kemudian juga dijadikan warung kecil-kecilan.

Ayah berusaha melakukan apapun demi memenuhi kebutuhan rumah tangga kami yang serba terbatas. Beliau yang sejak kecil dibesarkan di desa dengan keseharian membantu orangtuanya mengurusi ladang, membuatnya benar-benar berpengalaman dalam bertani. Beliau sebenarnya orang yang cerdas, hanya saja keadaan ekonomi keluarga tidak bisa mengantarkannya memasuki sekolah yang lebih tinggi. Dalam begitu banyak keterbatasan, ia begitu pandai mencari solusi dari setiap masalah. Hingga aku sendiri pun tidak pernah merasa kekurangan apapun. Beliau selalu memenuhi kebutuhanku, meski aku saat itu tidak tahu betul betapa keras usahanya memenuhi setiap kebutuhanku. Yang jelas, jika ada ayahku, aku selalu merasa cukup.

Ya, seperti anak perempuan pada umumnya, aku sangat dekat dengan ayahku. Bahkan, aku sama sekali tidak pernah sedekat itu dengan orang lain sekalipun itu ibuku. Maklum, aku tidak pernah cocok dengan Ibu. Aku juga tidak tahu kenapa, mulai dari rupa hingga perangai, aku mirip sekali dengan Ayah. Sebaliknya, bertentangan dengan Ibu. Aku pendiam seperti Ayah, semetara Ibu adalah orang yang banyak bicara. Aku suka minum kopi pahit dan tidak suka makanan manis seperti Ayah, tidak seperti Ibu yang suka sekali makan makanan manis. Dan banyak lagi yang lainnya. Hingga aku digelari ‘Anak Ketiak Ayah’ oleh orang-orang karena saking dekatnya. Dimana ada ayah, disitu ada aku. Bahkan tidur pun, aku selalu di samping ayah.

Umurku masih enam tahun saat Ibu bilang Ayah mengidap penyakit paru-paru. Sebenarnya Ayah memang telah sakit sejak aku berumur satu tahun. Aku yang saat itu tidak paham apa itu penyakit paru-paru, hanya bersikap biasa saja. Namanya juga anak-anak.

Namun aku mulai risih saat Ibu melarangku minum satu gelas dengan Ayah, yang jelas-jelas adalah kebiasanku. Ibu juga melarangku memakan sisa makanan Ayah seperti yang biasanya aku lakukan. Ibu bilang itu berbahaya. Penyakit ayah bisa menular. Ibu bilang ayah mengidap penyakit TBC, yang tentu saja anak kecil sepertiku tidak akan paham apa itu TBC. Aku hanya mengangguk, sambil sesekali tetap minum kopi pahit Ayah diam-diam. Ya, namanya juga anak-anak.

Hal itu juga berdampak pada pendidikanku. Saat sudah waktunya aku bersekolah, penyakit Ayah kambuh. Semua tabungan terpaksa digunakan untuk berobat. Alhasil, sekolahku ditunda setahun.

Bertahun-tahun kemudian, penyakit TBC Ayah semakin parah. Keluar-masuk rumah sakit hampir tiap beberapa bulan. Kalau tidak rawat inap, ya rawat jalan. Kebersamaanku dengan Ayah juga semakin berkurang dikarenakan Ayah sering bolak-balik rumah sakit-kampung untuk berobat. Sedangkan aku dititipkan pada Nenek.

Lihat selengkapnya