Ayah

Novitasari
Chapter #2

Donat

Cerita ini terjadi saat umurku masih sekitar 4 atau 5 tahunan. Mungkin sekitar tahun 2003.

Waktu itu aku sedang bermain mobil-mobilan sendirian. Maklum, aku anak tunggal. Ibuku tidak memperbolehkan aku bermain di rumah teman atau tetangga. Ia lebih suka aku tenang di rumah dan teman-teman saja yang menghampiriku jika ingin bermain. Namun, mana ada teman yang mau repot-repot datang ke rumah untuk bermain dengan anak pendiam dan penakut sepertiku? Bagi mereka jelas membosankan. Akan berbeda situasinya jika aku memiliki banyak mainan baru, tentu mereka dengan senang hati datang tanpa diminta. Namun, sepertinya itu mustahil. Mengingat mainanku masih lengkap meski sudah lusuh. Juga, beberapa waktu lalu aku baru saja dibelikan boneka Barbie.

Disisihkan, dikucilkan dan diabaikan hanya karena fisik dan uang sudah menjadi hal biasa bagiku. Karena semua itu telah aku terima dan jalani sejak kecil. Aku tak menyalahkan siapapun. Karena meski banyak orang bilang cantik fisik tidak menentukan segalanya, tetapi begitulah yang aku alami--sebagai anak biasa dari keluarga biasa.

Maka pada hari itu, aku bermain dengan mobil-mobilan lusuhku di ruang depan. Sesungguhnya, rumah kami hanya terdiri dari tiga ruangan. Satu kamar, satu kamar mandi, dan satu lagi ruangan serbaguna (warung, dapur, ruang depan dan ruang makan bergabung jadi satu). Hanya warung saja yang diberi sekat kecil dengan kawat.

Bosan bermain, aku tiba-tiba lapar. Namun, anak seumuranku tentu saja tidak doyan makan nasi. Aku lebih tertarik dengan sesuatu yang manis dan aku tahu saat itu di warung kami ada donat kesukaanku. Dulu harganya hanya lima ratus rupiah per buah, dengan ukuran sedang. Di atasnya ditaburi meses warna-warni, bagian yang paling aku sukai.

Lalu aku teringat jatah jajanku hanya bersisa lima ratus rupiah. Dulu, aku hanya diberi uang jajan seribu rupiah setiap hari. Baru di kelas tiga sekolah dasar, nominalnya bertambah lima ratus. Jadi, aku bilang pada ibu jika aku ingin jajan, beli donat. Ibu menagih uangnya dan memasukkannya ke kotak uang. Sementara aku telah mengambil donatku, memilih yang paling besar dan banyak mesesnya.

Tidak sampai tiga menit donat itu tandas. Sayang sekali perutku masih lapar. Rasanya enak, tidak cukup hanya satu. Apalagi bagian favoritku adalah mesesnya, donatnya sih aku tidak suka-suka amat.

Setelah menimbang-nimbang, aku mencoba memberanikan diri untuk meminta jatah satu donat lagi pada ibu. Satu saja, setelah itu aku janji tidak akan minta lagi. Tapi ibu itu orangnya tegas, mana mau menuruti kemauanku. Semua yang sudah ditetapkan tidak boleh dilanggar termasuk perihal uang jajan. Aku merengut, tapi hanya sebentar karena takut melihat tatapan ibu yang tidak suka jika aku membantah. Mudah saja baginya melayangkan cubitan ke lenganku jika aku bertingkah. Bayangkan, satu cubitan saja bisa membuatku menangis berjam-jam. Bukan hanya sakitnya, ibu kalau sudah geram, suaranya saja bisa bikin nyali ciut. Bisa bikin hati seketika pedih dan tak dapat membendung tangis. Maka dari itu aku segera diam.

Kelak, saat dewasa aku sadar ternyata itulah yang membuatku menjadi pribadi penakut, pemalu, pendiam dan tidak percaya diri.

Lihat selengkapnya