Farhana terdiam, membiarkan air mata terus mengalir di pipinya. Meskipun Sang Ibu kini sedang memeluknya. Hati gadis belia itu terasa sakit, bahkan lebih sakit karena terus menanggungnya selama lebih dari sebelas tahun.
Farhana bangkit dari pelukan ibunya. Gadis itu menyeka cepat air mata yang semenjak tadi ia biarkan mengalir. Menelan ludah dengan susah payah. Menatap ke arah Fiona yang masih duduk di lantai.
"Bu, sampai kapan ayah akan terus begini padaku? Apa aku tidak pantas dan berhak mendapatkan kasih sayangnya?" tanya gadis itu pelan.
Fiona berdiri dan berhadapan dengan Farhana. Menatap dalam kedua bola mata Hana yang basah karena bulir lembut bernama air mata yang mengalir. Menangkupkan wajah putrinya dan mengusap jejak air mata yang tertinggal di sana dengan kedua ibu jarinya.
"Hana, kamu pantas dan berhak mendapatkan kasih sayang ayah. Suatu saat nanti, Tuhan pasti akan membuka pintu hati ayah hingga Hana bisa merasakan hal itu," ucap lembut Fiona sambil menahan tangis.
"Kapan, Bu? Sepertinya, aku tidak akan pernah bisa mendapatkan itu. Apa mungkin, kebencian bisa berubah menjadi cinta?"
Farhana tersenyum kecut. Meratapi nasib hidupnya. Hati gadis itu begitu sakit setiap kali harus mengingat bagaimana Sang Ayah memperlakukan dirinya selama ini.
Semenjak Hana kecil hingga kini ia beranjak remaja, Fakhri tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya sebagai seorang Ayah kepada Farhana.
"Insya Allah, Sayang. Ibu yakin, suatu saat nanti ayah akan mencintaimu sebagai anaknya dan ...."
"Bu, ini bukan cerita dalam novel yang bisa merubah benci menjadi cinta. Ayah tidak akan pernah bisa menyayangiku."
"Nak, kamu harus percaya. Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas mampu kita."
"Apa Tuhan sayang padaku? Ibu jangan terus menghiburku. Aku tahu, itu tidak akan pernah terjadi dan ...."
"Astaghfirullah, Hana. Kamu jangan menyalahkan Tuhan. Sabar, Nak, istigfar."
"Sudahlah, Bu. Hana lelah mau istirahat. Sekarang, lebih baik Ibu cepat kembali ke ayah, sebelum ayah murka."
"Tapi, Nak ...."
"Bu, tolong jangan buat ayah tambah marah. Hana baik-baik saja.
"Baiklah, kalau ada apa-apa, kamu bilang Ibu, ya."
"Iya, Bu."
Hana menyudahi perdebatan dengan ibunya, ia tidak ingin menambah murka Sang Ayah yang akan di lampiaskan pada dirinya. Hana paham betul bagaimana sikap dan perilaku ayahnya selama ini.
Fiona pun meninggalkan Hana dengan langkah gamang, ia juga tidak ingin jika putrinya akan di hukum sang suami jika tidak segera menemui lelaki tua itu.
***