Dua tahun setelah kematian isteri Pak Jenderal, negeri kami diliputi duka di seluruh gang-gang kampung. Seluruh kanal-kanal sungai berombak. Seluruh pinggir-pinggir gunung api berhalimun. Awan-awan memendek tingginya. Semua penduduk ikut berduka membaca berita-berita di koran dan menonton RCTI yang menyatakan mendiang kena serangan jantung. Mendiang kelelahan ketika seharian mencengkeramai taman buah kecintaannya di Mekarsari. Taman buah yang mendiang impikan menjadi taman buah rakyat. Taman buah sedunia. Serupa Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang menjadi taman-taman surga ribuan pulau tropis negeri kami. Semacam landscape betapa luas dan suburnya negeri kami. Tapi semua orang seakan linglung dan tak percaya mendiang pergi begitu cepat. Semua yakin Pak Jenderal dan mendiang abadi. Mana bisa mati? Rasa kebatinan mereka memang serupa saat itu. Hidup bersama Pak Jenderal dan mendiang selama 4 windu sungguh seperti satu keluarga besar Raja. Seperti hidup di masa raja-raja yang memiliki kekuasaan besar. Mereka rela menghamba kepada Raja sekuat hati. Mereka yakin lidah Raja bertuah. Mereka sudah merasakan hukuman-hukuman keras dari Raja. Misalkan saja, mereka hilang tiba-tiba ketika sedikit saja memprotes keputusan Raja. Hilang begitu saja. Sim salabim. Kun. Hilang. Sudah terbiasa.
Pak Jenderal waktu itu sedang memancing ikan di suatu teluk yang penuh ikan-ikan kesukaannya, ikan kerapu karang merah. Pak Jenderal dikabarkan seorang ajudan bahwa 'Ibu' pingsan mendadak. Pak Jenderal mengisap cerutunya dalam-dalam setelah mendengarkan kabar buruk itu. Dia bersandar di bahu satu kursi empuk di tengah buritan kapal. Dia merasakan mata kailnya mengait sesuatu yang besar dan berat. Dia membayangkan ikan kerapu karang merah setinggi dirinya ngamuk saat menelan mata kailnya. Rol pancingnya berderit dan berasap saat ditarik jauh oleh sesuatu yang kuat. Tiang pancingnya melengkung serupa celurit seolah hendak patah. Ajudan resah melihat keadaan itu tapi Pak Jenderal menapiskan tangannya yang memegang cerutu agar ajudan itu diam dan tenang.
"Pergilah. Aku ingin sendiri." Dia menyapukan tangannya ke arah Ajudan.
"Tapi, Bapak.... Nanti pancingan Bapak...."
Ajudan mencoba merayu Pak Jenderal. Dia khawatir melihat rol pancing Pak Jenderal berasap.
"Pergilah. Biarken aku sendiri. Aku baik. Aku baik saja. Hem...." Pak Jenderal tersenyum.
Tak ada yang bisa dilakukan kalau Pak Jenderal sudah berhem-hem seperti itu. Apalagi senyum Pak Jenderal sudah biasa diartikan sebagai satu perintah. Ajudan lebih suka mundur dan pamit. Dia membungkukkan badan di depan Pak Jenderal.