Makan siang di kantin kampus, sepasang mata tampak sesekali memerhatikan pria yang berdiri di kantin buffet, sambil memegang piring sekat sedang memilih menu makanan, pria berperawakan badan tinggi tegap dengan kulit kuning langsat, potongan rambut rapi belah samping dan yang memesona adalah bibirnya pink segar alami ya' lebih lebih mirip idol Korea.
Bukan hanya proporsi tubuh ideal dan wajah rupawan tapi di barengi dengan ke jeniusan dan akhlak yang baik, tak ayal banyak kaum hawa yang berharap dirinyalah si calon makmum untuk pria itu.
Tak terkecuali Shifa dirinya sejak tadi beberapa kali sudah mencuri pandang, hal itu di sadari Nova, lalu menyenggol pelan lengan Shifa.
"Samperin dong."
"Ogah ah malu."
Tari dan Tia juga tertarik, tak luput meledek Shifa.
"Bebek perawan, sebelumnya lo gak pernah punya pacar ya?" Tari antusias bertanya
"Boro-boro punya pacar, tehnik PeDeKaTean aja Shifa gak tau dan emang tipekal Shifa gak mau pacaran maunya ta'aruf, dan Profesor Razan cocok di ajak ta'aruf." Jelas Nova panjang lebar antusias dengan mata berbinar.
"Apa aku sudah hilang muka ngajak ta'aruf duluan," protes Shifa.
"Tidak apa, Sayyidah Khadijah lebih dulu menyatakan cintanya ke Rasulullah."
Tia yang jarang bicara akhirnya bicara juga seperti menyatakan kesepakatannya dengan Tari dan Nova. Mereka malah asyik atas Shifa yang kikuk dengan wajah yang bersemu merah.
"Tapi aku bukan Sayyidah Khadijah dan dia juga bukan Rasulullah,"
"Maksud Tia, itu bisa di contoh, ayo Shifa semperin setauku Profesor Razan belum ada gandengan." Nova lebih semangat membuatnya mendapat lirikan sebal dari Shifa.
"Come on Shifa." Lagi-lagi dukungan yang memberatkan dari Tari.
"Apa harus ya?"
Pertanyaan yang sebenarnya sudah ia pahami jawabnya para sahabatnya sudah sangat excited. Ia bangkit meski masih dalam keraguan.
Menghampiri profesor Razan yang tengah menikmati makan siangnya.
"Selamat siang Prof."
"Selamat siang, ada apa?"
"Ehm...
Moment ter awkward bagi Shifa betapa wajah gugupnya terbaca oleh profesor Razan. Ia membalikkan sendok dan garpu dan sedikit menggeser piring sekat itu ke samping, ia telah selesai bersantap siang.
"Silahkan duduk," ucap pria itu mempersilahkan.
Perlahan ia duduk setelah di persilahkan, dan ini kali pertama mereka duduk berhadapan, berdua.
"Maaf Prof mengganggu waktu makan siangnya."
"Tidak apa saya juga sudah selesai."
"Saya kesulitan menemukan buku yang Bapak rekomendasikan tempo hari."
"Kamu punya waktu nanti malam? akan kuberikan buku itu saya sudah membaca keseluruhan, ada hal yang juga hendak ku bicarakan."
Terdiam, ia segera menjatuhkan tatapannya dari mata sang profesor, bukan tidak sabar menunggu waktu malam tiba, tapi kata yang hendak di ucapkan kenapa tidak sekarang.