Kebimbangan nyata bagi Nova. Ia melamun menopang dagu tapi sebenarnya ia berpikir keras hasil berbincang pagi tadi dengan Maliq.
Mencerna, menimbang dan membayangkan tawaran Maliq, meski sebenarnya tawaran itu belum dia iyakan, tapi tetap saja tawaran masa depan dari Maliq masih mengusik pikirannya
Flashback
Ia ngedumel terpaksa memenuhi ke inginan Nova bertemu di resto fast food padahal seorang Maliq paling anti produk Yahudi, alhasil telinga Nova harus puas mendengar nasehat plus sedikit omelan dari Maliq.
"Nggak baik keseringan junk food kayak gini."
"Nggak sering juga kali,"
"Orang makan di angkringan belum tentu orang gak punya uang kan."
"Iya sih, tapi udah dong ngedumelnya, lo kayak gantiin Shifa, oh ya ngomong-ngomong tumben ngajak ketemu pagi-pagi."
"Nggak sabar aja pengen ketemu kamu, pengen liat wajah cantik kamu di balik hijab."
"Bisa jokes juga lo, tapi tadi bilangnya ada sesuatu."
Maliq duduk lebih tegak yang semula bersandar, melihat lebih intens ke mata Nova, ia sedikit nervous, sedang Nova menyipitkan mata menangkap hal akan ada keseriusan dari ucapan Maliq
"Aku ingin kita menikah Nov."
Coke yang di minumnya tidak di semburkan sebagaimana biasanya orang kaget tapi di telan dengan susah payah. Nova juga menatap mata lawan bicaranya.
"Lebih baik kita menikah," Ulang Maliq.
"Kapan?"
"Secepatnya Nov."
"Serius lo ajak gue nikah," tatap Nova mulai serius.
"Serius, mari kita menikah."
"Ini ada apa sih kok tiba-tiba pengen nikah."
"Dari pada hubungan kita gini-gini aja."
"Nggak ada masalah kan Maliq?"
"Nggak ada, hanya pengen resmi, nggak baik kan lama-lama tanpa hubungan halal."
Diam, Nova sejenak diam memikirkan permintaan Maliq, begitupun Maliq sabar memberi waktu berpikir untuk Nova sambil meneguk air mineral.
"Sejauh ini aku belum memikirkan pernikahan."
"Kalau begitu pikirkanlah, aku lebih dari serius mengajakmu menikah."