Entah berapa lama ke tiga sahabat Shifa berdiri di depan pintu kamar ruang Shifa di rawat mereka sempat mendengar percakapan Shifa dan Profesor Razan.
Sebenarnya kurang etis mendengar percakapan orang lain hingga Tari menghalau Tia dan Nova agar menjauh. Tapi yang sempat mereka dengar membuat Nova kesal menggerutu.
"Mengapa Shifa nggak terima saja sih."
"Shifa pasti punya pertimbangan sendiri." Ujar Tiana
"Apa lagi yang di pertimbangin, Shifa kan juga suka sama Profesor Razan."
"Kondisinya Nov, lo kayak nggak kenal Shifa, nggak mau dia bikin beban," tukas Tiana lagi
"Profesor Razan kan udah jelas tau kondisinya dan tetap mau, Shifa aja naif gitu."
Tari menggeleng melirik Nova
"Kok jadi lo yang sewot gitu sih Nov, nikah nggak asal nikah begitu saja, yang naif itu elo, lo udah muak ya bolak balik rumah sakit ngurus Shifa, akhirnya lo pikir dengan Shifa nikah sudah jelas ada yang urus, trus ya, lo nggak di susahin lagi."
"Gue nggak mikir gitu ya Tar gue nggak keberatan merawat Shifa, Shifa sangat berarti buat gue."
"Habis lo dongkol amat dari tadi."
"Sudah-sudah." Tiana melerai sambil mengisyaratkan kemunculan Profesor Razan menghampiri mereka.
Rawan berdebat, hawa yang mulai panas itu berakhir dengan kemunculan Profesor Razan.
"Syukurlah kalian di sini, tolong jaga Shifa, sore nanti aku perjalanan dinas untuk beberapa hari."
"Jangan khawatir Prof tiap hari juga kami kesini kok." Ucap Nova lagi-lagi mendapat lirikan dari Tari.
"Terimakasih, aku menjadi lega karena kalian."
Nova tersenyum miring jalan lebih dulu masuk ke ruangan Shifa meninggalkan perbincangan begitu saja.
"Sok banget, baru aja berapa hari jengukin Shifa lalu seakan dialah yang paling semuanya, bantu biaya rumah sakit aja nggak."
"Ada apa, kenapa ngedumel sendiri?"
Tanya Shifa melihat kemunculan Nova dengan mulut komat-kamit tapi suaranya tidak jelas di pendengaran Shifa.
Sejenak Nova menatap Shifa yang menanyainya tapi tidak ia jawab, mimik wajah berubah panik lalu menghampiri.
"Shifa keluar darah darah lagi di hidungmu."
Shifa mengusap hidung, benar saja darah kembali mengucur, Nova meraih tissue di atas nakas lalu ia sodorkan.
"Apa yang kamu rasain beb?" Tanyanya penuh khawatir.