Ayam Kampus Story

Sukma Maddi
Chapter #32

See You in Jannah.

Monitor yang memastikan kondisi Shifa berbunyi menandai organ vitalnya berhenti bekerja seperti jantung, organ itu tak lagi berdetak.

Monitor yang berbunyi tiiiit sangat nyaring terdengar, tak satupun jamaah sholat subuh di ruangan itu tak menitikkan air mata. Belum salam Nova hendak beranjak tapi tangannya di cengkram sangat kuat oleh Tiana memaksanya agar menyelesaikan sholat. Para perawat dan dokter menyaksikan itu tak jua kuasa membendung air mata lalu menghampiri Shifa mengecek keadaannya, setelah salam para gadis berhambur menghampiri Shifa.

Tiana mendekap Nova yang histeris membawanya agak menjauh memberi ruang bagi dokter untuk memastikan keadaan Shifa.

Team medis bekerja bergumul dengan defibrilator atau alat kejut jantung tapi sesaat tidak ada hasil, terakhir memeriksa denyut nadi, pupil mata dan tak ada tanda-tanda hidup lagi pada Shifa. Dokter menarik nafas lalu memandangi satu persatu sahabat Shifa.

"Kalian mau kan kalau Shifa sembuh, sekarang Shifa sudah sembuh, Shifa tidak sakit lagi."

"Apa yang terjadi dengan Shifa Dok?" Tanya Tari dengan isak tangis.

"Kalian yang tabah, Shifa sudah di panggil Allah," sang dokter juga merasakan tekanan emosi menyampaikan berita duka itu.

"Shifa...." Teriak Nova histeris menepis tangan Tiana lalu memeluk sahabatnya.

"Innalilahi wainnailaihi Raji'un." Lirih Profesor Razan dan Tiana hampir bersamaan.

Masih tak percaya jika Shifa benar-benar telah menghembuskan nafas terakhir. Pilu, hati hancur kehilangan, para sahabat itu seolah merasakan perasaan terburuk seumur hidup.

Team medis memberi mereka waktu sekian menit melepas perasaan. Nova, Tari dan Tiana bergiliran mencium dan memeluk sahabatnya, sedangkan Profesor Razan tak kalah lelehan air matanya sama seperti ke tiga gadis.

Sedih teramat sangat, dada sesak dan linangan air mata yang keluar seolah tak usai, mereka mencoba tabah, setelah mengatur nafas kini di hadapan orang-orang yang begitu menyayangi Shifa, jenazah Shifa belahan jiwa mereka di tutupi kain putih.


***


Kini di gundukan tanah merah masih basa, bertabur bunga di bawahnya terbaring gadis yang sangat baik, sebagian pelayat telah melangkah pulang kecuali ke tiga gadis dan Profesor Razan. Sekuat tenaga melawan hati yang hancur kehilangan, telah usai mengurus prosesi pemakaman.

"Shifa, kamu tenang ya, nggak sakit lagi kan," lirih Tari membuka kacamata dan mengusap air mata.

"Terimakasih telah hadir ditengah-tengah kita, tapi kamu pergi nyisain rasa kehilangan yang takkan pulih, kita bakal kangen sama kamu, sama ceramah kamu pokoknya rasanya akan berbeda tanpa kamu," ucap Nova sambil terisak.

"Sudah ya, ayo kita pulang," bujuk Tiana. Akhirnya mereka beranjak Profesor Razan juga. Tari melirik Profesor Razan.

"Prof, terimakasih, anda begitu tulus tak ada laki-laki yang benar-benar menginginkan dan mencintai wanita sakit diambang kematian tanpa pamrih kecuali Profesor Razan," Ucap Tari.

"Benar, terimakasih. Maaf ya Prof anda tak seperti yang aku pikirkan ternyata anda benar-benar baik, Shifa sangat beruntung di cintai lelaki seperti anda, beruntung lagi andai dia bisa terus hidup berdampingan dengan Profesor Razan, tapi takdir Allah tetaplah indah," Nova ikut menimpali.

"Berterima kasih pada diri sendiri, kalian juga sangat berperan kan untuk Shifa mengupayakan segala cara agar Shifa sembuh, kalian merawatnya ratusan hari tanpa putus asa kalian tak sedarah tapi pengorbanan kalian tidak main-main, jika ada pemberian apresiasi tinggi itu paling layak untuk kalian."

"Terimakasih Prof," ucap Nova lagi-lagi tak dapat membendung tangis.

"Shifa memberiku amanah agar menjaga kalian, tapi aku tidak tau caranya mengemban amanah jadi sampai aku tau cara melaksanakan itu mohon jaga diri kalian baik-baik, jangan salah arah, hiduplah lebih mulia."

Ketiga gadis mengangguk. Akhirnya mereka pulang berjalan beriringan meninggalkan lokasi pemakaman. Tiana masih sempat menoleh kebelakang melihat pusara sahabatnya, terkenang lagi awal mula perkenalan di toilet kampus masih terbayang wajah pucat Shifa khawatir dirinya di bully Tari dan Nova, lalu ketika ia di beri sejumlah uang untuk biaya rumah sakit ibundanya, wajah polos malu-malu ketika di goda mengenai Profesor Razan dan wajah tercengang alis terangkat saat pertama kali di juluki bebek perawan oleh Nova.

Lihat selengkapnya